Oleh: Sil Joni*
Merayakan "Kebohongan" |
Dalam sebuah pertemuan politik (tatap muka) seorang peserta, tanpa tedeng aling-aling, melontarkan kritis pedas kepada para politisi, khususnya para calon legislatif (caleg). "Saya tidak percaya dengan para Caleg. Berdasarkan pengalaman, mereka hanya menyemburkan kebohongan kepada masyarakat. Hampir tidak ada janji yang ditepati". Itulah untaian kalimat kritik yang keluar dari mulut peserta itu.
Baca: Berpolitik Melalui Pikiran Kritis
Sontak saja, telinga dari Caleg yang mengadakan tatap muka itu, menjadi merah bak kepiting rebus. Si Caleg sepertinya 'disambar petir di siang bolong. Betapa tidak. Secara tidak langsung, peserta itu sepertinya 'menolak' kehadiran setiap pekerja politik, termasuk Caleg yang beraudiensi dengan konstituen itu.
Terhadap 'serangan kilat' itu, saya coba memberikan tanggapan ala kadarnya. Pada tempat pertama, tentu saja saya sangat mengapresiasi pikiran kritis dan kegelisahan yang disuarakan si penanya itu. Setidaknya, beliau secara plastis dan lugas membahasakan realitas yang terjadi dalam medan politik saat ini.
Suara kritis di atas, sebenarnya mewakili pendapat dari sebagian besar warga saat ini. Publik menganggap politik itu identik dengan kebohongan. Politisi, tentu tidak semua, adalah 'tukang bual' untuk merebut simpati masyarakat.
Baca: Mabar Baru (Bangkit dan Mantap) di Tahun Baru, Mungkinkah?
Saya tegaskan pada momen 'diskusi politik' itu, bahwa apa yang disampaikan si penanya itu, tidak seluruhnya salah. Dalam banyak kasus, selebrasi terhadap kebohongan itu yang terjadi. Politisi itu tidak berurusan dengan 'kebenaran'. Mereka yang menggali kebenaran secara serius adalah kaum agamawan dan akademisi. Sedangkan politisi itu berurusan dengan 'strategi dan siasat' untuk memanipulasi kesadaran publik demi meraih kursi kekuasaan.
Kebohongan terlanjur dipercayai sebagai "resep jitu" untuk mendulang suara di musim kontestasi politik. Publik merayakan "semburan kebohongan" bersama aktor politik yang terlibat dalam kompetisi tersebut.
Masa kampanye adalah masa dimana kita "merayakan" kebohongan dengan antusias. Gairah politisi untuk "memuntahkan" kebohongan tak pernah padam. Publik pun "termakan" dengan arus sensasi kebohongan politik tersebut.
Akal sehat tak berfungsi optimal untuk memfilter secara kritis "wacana politik beraroma hoaks" dari mulut para elit kita. Kita lebih tertarik pada retorika, jargon, janji palsu, kata-kata manis dengan bau kepalsuan yang menyengat.
Mayoritas pemain politik sangat cerdas "menyemprotkan" kebohongan demi kebohongan kepada publik. "Janji" menaikan gaji guru hingga 20 juta per bulan yang bergulir di ruang publik, merupakan salah satu contoh dari dusta politik itu. Sebuah bualan yang tiada tandingnya di dunia ini.
Kendati demikian, para pendukung dari aktor yang berdusta itu, tetap "bersorak riang" sebab sang kandidat begitu percaya diri menyampaikan orasi politik (tanpa teks) di depan forum resmi. Seakan-akan apa yang keluar dari mulut "sang jagoan" merupakan sabda ilahi yang "tak bisa diperdebatkan".
Baca: Politik Uang dan Publik yang Permisif
Tak ada perdebatan politik bermutu yang bergulir di ruang publik saat ini. Publik hanya disuguhi "adu licik" memamerkan kecakapan berbohong. Otak dipakai untuk "melayani" hasrat berbohong.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.