Oleh: Sil Joni*
Pariwisata, Tanah dan "Naluri" Kaya Instan |
Keberadaan pelbagai spot wisata alam dan budaya yang begitu eksotis dan romantis di Manggarai Barat (Mabar) semestinya mengalirkan berkat berlimpah bagi publik. Aneka obyek wisata menarik itu, mesti dikonversi menjadi instrumen akselerasi peningkatan kesejahteraan publik.
Namun, faktanya 'ideal' di atas belum sepenuhnya terwujud. Anugerah keindahan alam dan budaya itu, hanya dinikmati oleh segelintir orang. Mayoritas publik, masih perlu berjuang ekstra keras untuk mendulang untung dari kehadiran industri pariwisata di wilayah ini.
Baca: HIV/AIDS dan Pariwisata Sehat
Setelah ditelusuri, ternyata dua jenis keunggulan yang mesti kita miliki dalam menjemput dan memaknai kehadiran pasar wisata super premium di Kabupaten Mabar. Pertama, keunggulan komparatif yang termanifestasi pada tersedianya 'produk dan atraksi wisata (alam dan budaya) yang sangat eksotis. Dari sisi keunggulan komparatif, rasanya kita memiliki alasan yang cukup untuk 'bertepuk dada'.
Kedua, keunggulan kompetitif yang terekspresi pada tingkat 'daya saing' atau kualitas sumber daya manusia dalam memetik keuntungan dari kehadiran industri turisme bertaraf super premium itu. Dengan bahasa yang lebih simpel, keunggulan kompetitif berkaitan erat dengan 'kesiapan kita' dalam mengelola dan membaca setiap peluang ekonomis yang ditawarkan dalam pasar pariwisata itu.
Kita harus jujur mengakui bahwa dari sisi keunggulan kompetitif ini, kita 'kalah telak'. Kebanyakan pemain utama pariwisata di Mabar, berasal dari luar. Mereka, dengan keahlian dan kapital yang besar, sukses meraup keuntungan maksimal. Kehadiran industri pariwisata relatif belum berdampak pada peningkatan derajat kehidupan ekonomis warga lokal.
Baca: Pariwisata, FGK Jilid II dan 'Gereja yang Terlibat'
Tingkat keunggulan kompetitif yang kurang menggembirakan itu berimplikasi pada 'kecerobohan' dalam menggadai properti vital seperti tanah demi mencicipi manisnya kue pariwisata. Kita tahu bahwa status Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super prioritas di Indonesia, sangat berdampak pada melonjaknya nilai ekonomis tanah khususnya lahan di kawasan yang masuk dalam peta wisata unggulan.
Tanah privat dan tanah ulayat menjadi incaran para investor. Soal harga, bukan perkara sulit bagi para pebisnis. Membaca tingginya permintaan akan tanah, para mafia mulai memamerkan kreativitas iblis dengan memainkan sejumlah jurus manipulatif demi mendapatkan legalitas kepemilikan atas lahan komunal dan tanah milik perseorangan. Bahkan dalam kasus terbaru, tanah milik Pemda Mabar pun menjadi 'ruang pemanifestasian' siasat busuk para mafia.
Tanah menjadi satu-satunya 'aset' yang bisa dilego untuk bisa melompat ke kawasan stratifikasi sosial yang lebih tinggi dengan menyandang predikat sebagai 'orang kaya'. Hanya dengan menjual dan menjadi aktor mafia tanah, mimpi untuk menjadi orang kaya lekas terwujud. Mengapa? Kita tidak mempunyai keahlian dan kapasitas teknis yang mumpuni untuk menjadi aktor kunci keberhasilan industri turisme di sini.
Sebagian komunitas adat dan individu di wilayah Labuan Bajo terpaksa 'gigit jari' sebab tanah ulayat mereka telah dirampas oleh para mafia. Memang saat ini, sudah mulai muncul semacam upaya perlawanan dari komunitas adat untuk mendapatkan hak penguasaan atas tanah ulayat yang dicaplok para maling itu.
Dari kenyataan ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa naluri untuk menjadi orang kaya tersebab oleh minimnya keunggulan kompetitif, bisa menjadi penyebab meningkatnya kasus mafia dan silang sengkarut isu agraria di sini.
Makna terhadap tanah di Labuan Bajo saat ini telah mengalami pergeseran yang ekstrem. Tanah dilihat sebagai "jembatan" meraih impian menjadi orang kaya. Ia merupakan modal untuk menjadi miliarder dadakan. Mentallitas instan (jalan pintas) kian digandrungi oleh sebagian warga lokal saat ini.
Baca: Kunjungan Sesmen Parekraf RI ke Waerebo Diterima Secara Adat Manggarai
Untuk menggapai "mimpi ilusif" itu, aneka klaim sejarah fiktif dan dokumen palsu dipamerkan untuk menjustifikasi kebenaran legal terhadap sebidang tanah. Sejarah perolehan tanah dikemas secara logis agar terhindar dari kesan manipulatif dan fiktif. Bahkan, para penguasa baik yang telah tiada maupun yang sedang berjaya yang menurut versi subyektif sangat berhubungan dengan persolan tanah coba dikedepankan. Tujuannya adalah meyakinkan para pihak dan publik bahwa tanah tersebut benar-benar milik dari pribadi tertentu.
Negara mesti hadir dalam persoalan pelik ini. Isu seputar sengketa lahan menjadi "bom waktu" yang meledak kapan saja dan bersifat kontraproduktif bagi kemajuan sebuah daerah. Masalah tanah bisa menjadi batu sandungan bagi perkembangan industri turisme yang sedang semarak saat ini.
Namun, patut disesalkan jika negara (baca: aparat birokrasi) juga ikut menikmati "rezeki" dari perubahan nilai ekonomis tanah di Labuan Bajo dan sekitarnya. Aparatur negara tidak boleh menjadi "calo tanah" atau berkonspirasi dengan oknum penjual tanah untuk menumpuk harta sebanyak mungkin.
Benar bahwa tanah adalah 'aset ekonomis' yang sangat berharga. Kita mempunyai 'hak' untuk memiliki dan menjual tanah. Keputusan untuk 'menjual' tanah adalah hak yang perlu dihormati.
Akan tetapi, penggunaan hak itu mesti mengikuti proses atau alur yang benar. Kita tidak bisa memakai segala cara untuk mendapat hak kepemilikan atas tanah yang sebetulnya 'bukan milik kita'. Selain itu, rasanya terlalu egois jika kita hanya bertindak sesuai dengan selera dan hak pribadi tanpa memikirkan 'hak generasi berikut' untuk tinggal dan mengolah tanah tersebut.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.