Oleh: Sil Joni*
Pileg, Momen Evaluasi Kinerja Para "Wakil Publik" |
Idealnya, kontestasi politik menjadi kesempatan bagi publik untuk mewujudkan kedaulatannya dalam 'memilih' wakil-wakil yang bisa mengubah keadaan. Sayangnya, harapan semacam itu, dalam banyak kasus, tidak terwujud. Dari pemilihan legislatif (Pileg) ke Pileg, belum ada lompatan kemajuan akibat kehadiran para wakil itu.
Baca: "Foto Politik", Popularitas, dan Kursi Kuasa
Dalam sistem demokrasi representatif, rakyat adalah pemilik sah kedaulatan. Namun, operasionalisasi kekuasaan itu dimandatkan kepada para wakil dalam tiga domain politik, eksekutif, yudikatif, dan legislatif (trias politica).
Idealnya, 'para wakil' itu mempertanggungjawabkan secara reguler progres kerja kekuasaan itu kepada sang tuannya (publik). Namun, faktanya publik tak selalu mendapat apa yang "menjadi hak dasar mereka'.
Karena itu, publik mesti proaktif untuk mengawal dan menelusuri 'rekam kinerja' dari para wakil tersebut. Dasarnya adalah mereka dipilih untuk melayani dan menyejahteraan publik par excellence.
Saya kira, kita tidak perlu menunggu "data resmi" baik dari instansi pemerintah, maupun lembaga swasta dalam mengevaluasi kinerja para legislator lokal kita. Indikator kita sederhana saja "perbaikan mutu wajah pembangunan politik" di Kabupaten ini.
Baca: Merayakan "Kebohongan"
Tentu, pertama nian, kita tetap mengapresisi "segelintir legislator" yang sangat getol dan komit dalam menjalankan tiga fungsinya (legislasi, anggaran, dan pengawasan). Namun, kerja keras tersebut belum tampak optimal hasilnya bagi perbaikan tingkat kesejahteraan publik.
Saya belum mendengar atau membaca "cerita" tentang aneka prestasi politis dari anggota parlemen lokal kita. Kinerja para wakil ini, dalam catatan saya biasa-biasa saja untuk tidak dikatakan "sekadar menjalankan tugas".
Mungkin ada dewan yang mengklaim bahwa jalan atau jembatan (proyek) di desa A merupakan "buah dari perjuangannya" selama menjadi anggota DPR. Klaim seperti itu, dalam musim politik seperti sekarang ini, sudah terasa hambar. Itu hanya "retorika politik" untuk mengelabui kesadaran publik (konstituen).
Untuk itu, Pileg 2024 menjadi momen evaluasi apakah Calon legislatif (Caleg) petahana masih bisa diandalkan atau tidak. Jika 'kinerja mereka' tidak terlalu memuaskan, rasanya publik tidak boleh memberi mandat kekuasaan kepada politisi medioker seperti itu.
Baca: Berpolitik Melalui Pikiran Kritis
Hal yang sama berlaku juga bagi "Caleg pendatang baru". Publik mesti jeli membaca dan menilai 'rekam jejak', kecakapan intelektual, kualitas etis, dan kompetensi teknis-politis dari para Caleg tersebut. Pileg itu bukan kesempatan untuk memberi pekerjaan kepada keluarga atau kerabat dekat. Kita memilih pribadi yang punya kapasitas dalam mengakselerasi kemajuan proses pembangunan politik di wilayah ini.
Jangan terbuai dengan gaya 'omong kosong' para Caleg setiap kali tampil di hadapan publik. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka perlu dicurigai sebagai 'siasat' untuk mendulang suara semata. Kehendak untuk meningkatkan karier di Medan politik, terbaca secara gamblang dari retorika yang indah itu.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.