Oleh:RP. Stefanus Dampur SVD*
Rumah Pastoran Tua Paroki Hokeng, Bencana Letusan Gunung Berapi Lewotobi dan Cuaca Ekstrim |
Berdasarkan kepercayaan Pimpinan Tarekat SVD, saya dipercayakan menjadi Pastor Rekan dengan SK resmi di Paroki Hokeng sejak September 2023. Saya baru masuk ke Paroki Hokeng pada tanggal 10 bulan 10 tahun 2023 (hal ini sudah disepakati dengan Pater Provinsial kami).
Saya diantar oleh konfrater dari Ledalero. Ada Pater Marsel Vande Raring, SVD. Ada Pater Muche, SVD. Ada juga Frater Daniel Bunga, SVD.
Awam yang turut mengantar saya, antara lain: Pa Sil Gudu (Waka SMKN 2 Maumere, status kakak ipar), ada Pa Robby/Oby Sildeku (Guru, status ipar juga), ada Mas Andang (sopir KSP KOPDIT OBOR MAS).
Baca: Orang Susah Menolong Orang Susah
Mereka inilah yang menjadi "saksi sejarah dan penolong yang baik" untuk saya. Mereka menaikkan kardus buku dan barang lain milik saya ke mobil-mobil, mereka jugalah yang menurunkannya sesampai di Pastoran Paroki "SAMARASA= SAnta MAria RAtu Semesta Alam" Hokeng-Keuskupan Larantuka. Terima kasih banyak untuk mereka semua. Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka.
Kamar Sempit dan Beratap Pendek dan Bocor
Betapa kagetnya saya di siang itu (10/10/2023).
Saya melihat satu ruangan berukuran sekitar 3x4 meter. Itulah kamar yang disiapkan untuk saya.
Saya melihat kardus buku, penuh tersusun rapi di ruangan sempit itu. Ada satu kursi dan satu meja. Ada tempat tidur untuk ukuran single, yang begitu kecil. Ada satu rak kecil dan lemari. Ada hanger (penggantung pakaian 3 buah). Ada satu sapu ijuk.
Oh ya, di atas tempat tidur itu tergeletak satu kasur tua yang kapasnya sudah banyak terlepas dan berserakan di lantai. Lantainya juga penuh dengan debu. Jendelanya dibingkai kaca nako. Kaca nakonya ditempeli triplex dan kertas serta di sana-sini, penuh dengan lubang tak beraturan. Kaca nako itu sudah berkarat.
Plafon kamar sudah terbongkar.
Ada bekas air hujan di atas tempat tidur. Saya cek ke bagian belakang, ada kamar mandi berukuran sempit dengan pintunya terbuka ke arah barat. Saya kaget dan "shock" melihat kondisi seperti ini. Hanya saja saya ingat bahwa Tuhan Yesus "tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya". Saya masih punya kamar semewah ini. Itu yang menguatkan saya. Saya juga mendengar syering dari teman-teman dari Biara Trapist bahwa mereka tidur beralaskan papan kasar dan satu tikar. Sedangkan saya? Saya masih memunyai kasur tua dan tempat tidur serta kain kelambu merah jambu.
Dengan pertimbangan itu, saya jadi mudah menerima dan akrab dengan kenyataan Hokeng, yang dulunya saya dengar "lain", kenyataannya "lebih lain lagi". Umat tidak perlu khawatir, saya sudah pelan-pelan beradaptasi. Pelan-pelan merasa betah dan mulai berkarya untuk melayani umat, sesuai jadwal atau pembagian tugas/job description yang diberikan. Yang lainnya kreatif. Seperti sekarang saat bencana alam letusan gunung berapi Lewotobi, saya sudah menghasilkan puluhan tulisan. Kreatif, bukan? Produktif, bukan?
Situasi Awal di Hokeng
Siang hari itu (10/10/23), kami diterima oleh karyawan dan karyawati di Hokeng juga beberapa pengurus stasi.
Lalu kami diundang untuk meminum air kelapa muda. Segar betul kelapa muda di Hokeng ini. Buah kelapa ini dipetik dari samping Pastoran Hokeng yang lebih viral dikenal "Pohon Kelapa Miring". Memang, kenyataannya, pohon kelapa itu miring ke timur, ke arah kamar makan Pastoran Hokeng. Dauunya rimbun, buahnya lebat.
Setelah menikmati air kelapa, (tentu sudah membuat kami merasa kenyang) kami diundang untuk menikmati makanan siang. Menunya sederhana. Sesuai yang saya lihat, menu itu terdiri dari: nasi, ikan kering, daun kelor atau marungge (bahasa Lamaholotnya: Kopong) yang direbus dan ditemani pisang masak. Pisang masak di Hokeng ini manis.
Usai makan siang, Konfrater saya dari Ledalero dan keluarga dari Maumere, mesti pulang ke Maumere. Mereka akan menempuh perjalanan sekitar dua jam. Saya mengucapkan limpah terima kasih atas kebaikan mereka yang mengantar saya. Terima kasih pula kepada wakil umat Hokeng yang menerima saya dalam keadaan ala kadarnya.
Saya sudah membangun komunikasi efektif dengan pimpinan setempat yakni Pastor Paroki lama terkait waktu kedatangan saya, lengkap dengan waktu dan jumlah pengantar yakni 6 orang.
Narasi kecil dan pengalaman awali ini semuanya sudah berlalu. Semuanya sudah terjadi. Ini hanya secuil kenangan. Kenangan untuk diingat. Diingat untuk dimaknai bahwa awal kisahnya memang begini.
Hari ini, Rabu, 24 Januari 2024, saya baru menghuni Pastoran Hokeng sekitar 3 bulan 14 hari (10 Oktober 2023-24 Januari 2024).
Pada saat saya baru masuk 2 bulan 13 hari di Hokeng, kejadian bencana alam erupsi gunung berapi dan letusan gunung berapi Lewotobi terjadi (pertama kali, pada 23 Desember 2023, dua hari sebelum Natal, 25 Desember 2023). Kami sungguh merasakan suasana panik dan l huru-hara. "Apakah jadi atau tidak perayaan Natal di Hokeng ini pada 25 Desember 2023 ini?". Ternyata setelah dikonfirmasi dengan para pihak, maka perayaan Natal tahun 2023 tetap dirayakan hanya harus tetap waspada dan siap siaga.
Kamipun merayakan malam Natal (24/12/23) dan Hari Raya Natal (25/12/23) dengan lancar dan relatif aman.
Gunung Lewotobi Seringkali Erupsi dan Meletus
Hal ini terjadi pada tanggal 31 Desember 2023 saat selesai misa tutup tahun. Semua umat panik. Semua umat tercerai-berai. Masing-masing kami mencari keselamatan bagi diri sendiri. Jadilah saat itu perayaan pembukaan tahun 2024, saya mesti memimpin misa di Stasi Duang dan Bawalatang. Misa tidak jadi dirayakan karena semua umat di kedua Stasi tersebut sudah lari mengungsi, ada yang ke posko pemerintah, adapula yang mengungsi secara mandiri.
Hal itu (erupsi dan letusan gunung berapi Lewotobi dan situasi mengungsi) tetap terjadi hingga kini, tanggal 24 Januari 2024, saat kami menuliskan refleksi ini.
Singkatnya, kami sudah satu bulan satu hari hidup dalam bencana.
Tadi, usai sarapan pagi, saya membaca Surat Keputusan Penjabat Bupati Flores Timur yang menetapkan bahwa "Darurat Bencana Erupsi dan Letusan Gunung berapi Lewotobi ini akan dilaksanakan sampai 31 Januari 2024, yang akan datang. Tambang panjang penderitaan umat kami dan kami sendiri.
Rumah Pastoran Tua Paroki Hokeng, Bencana Letusan Gunung Berapi Lewotobi dan Cuaca Ekstrim
Di samping bencana alam erupsi dan letusan gunung berapi Lewotobi, kamipun dihadapkan dengan bencana baru yakni cuaca ekstrim: hujan lebat dan angin kencang.
Dalam kondisi rumah pastoran yang tua dimakan usia, kami mesti menghadapi badai. Air masuk ke rumah karena atap bocor. Plafon tua terangkat karena terjangan angin. Hal ini terjadi waktu makan malam. Plafon di kamar makan dan bagian pastoran lainnya rusak dan rubuh ke lantai. Untung saja tidak ada korban manusia. Pastor Paroki Hokeng, Pater Maxi Seno, SVD bergumam: "Kita sengsara betul ko. Rumah tua ini banyak yang rusak. Semuanya mesti segera diperbaiki. Kalau tidak, kita tidak akan aman hidup di sini dan tidak aman juga untuk melayani umat. Kita mesti mengambil tindakan untuk rehab pastoran".
Ide ini kami dukung bersama. Oleh karena itu, saat pegawai datang bekerja, mereka dimintai bantuan untuk mrmbeli paku, triplex, dll untuk memperbaiki plafon yang rusak, membeli lem untuk melem atap yang bocor. Tindakan ini adalah tindakan "pertolongan pertama". Mesti dipikirkan untuk berpikir komprehensif terkait pembangunan pastoran baru, yang memastikan para pastor bisa hidup dan berkarya dengan nyaman. Mudah-mudahan ada yang dicerahkan akal budi, kehendak dan perasaannya terkait pembangunan pastoran baru ini. Kenyataannya, pastoran yang lama sudah tidak layak huni.
Sekarang memang belum ada korban manusia, namun ke depannya siapa yang bisa tahu dan bisa menebak? Sebagai penegasan, dalam pertemuan internal Tim Pastor di Hokeng (24/1/24, malam hari) disepakati bahwa rumah tua pastoran ini mesti segera direhab lalu dipikirkan untuk membangun yang baru. Jika tidak segera direhab, maka dipastikan para pastor tidak nyaman tinggal dan hidup di Pastoran Hokeng.
Pantasan selama ini, air hujan tembus ke dalam rumah Pastoran dan rumah pastoran menjadi seperti kolam kecil. Kami sadar. Kami melek. Kami perlu melakukan apa yang boleh, harus dan wajib kami lakukan.
Epilog: Doa dan Harapan
Memang umat kami sedang berada di pengungsian.
Hidup mereka tidak menentu lagi, tak ada pula kepastian. Hasil bumipun sudah rusak semuanya akibat abu vulkanik, gas beracun juga belerang yang berasal dari letusan gunung berapi Lewotobi jantan itu. Hidup kami sungguh merana. Tahun 2024, bagi kami, sungguh merupakan tahun kegelapan, duka, derita dan bencana. Tragedi ini dimulai memang sejak tanggal pertama bulan pertama di tahun 2024 ini.
Baca: Bertindak Cerdas Selaras Alam
Meskipun begitu, kami tetap berdoa dan berharap agar badai ini cepat berlalu dan hidup kami kembali pulih dan normal. Harapan kami, dengan sumber daya yang masih ada pada kami fan bantuan para donatur, semoga pastoran tua Paroki Hokengpun segera direhab, diperbaiki agar menjadi tempat yang layak huni bagi para pastor yang melayani umat di tempat ini.
*) Penulis adalah penghuni tetap Rumah Pastoran Tua Paroki Hokeng. Dia juga menjadi korban Bencana Letusan Gunung Berapi Lewotobi dan Cuaca Ekstrim yang terjadi.
Dia berharap bahwa badai ini segera berlalu dan hidupnya boleh kembali normal seperti dulu lagi.