Oleh: RP Stefanus Dampur SVD*
Strategi Efektif Pastoral "GPK" di Paroki Sta. Theresia Lengko Ajang-Keuskupan Ruteng |
Saat saya menikmati suasana liburan panjang di kampung (Golo Waso-Lengko Ajang), saya cukup sering mendengarkan istilah "GPK".
Hal ini (baca: GPK) sungguh ramai diperbincangkan warga.
Baca: Menabur Kebaikan, Menuai Keselamatan
Awalnya, saya menduga bahwa istilah "GPK" itu terkait dengan situasi extra-ordinary, "Gerakan Pengacau Keamanan" yang dilontarkan oleh pihak keamanan di Republik ini.
Misalnya ada GPK di ACEH dalam bentuk "GAM= Gerakan Aceh Merdeka" dan di PAPUA, ada OPM= Operasi Papua Merdeka".
Saya sungguh salah menduga.
Sayapun salah mengira. Saya juga salah menafsirkan.
Ternyata jauh berbeda konteksnya.
"GPK" dalam konteks pastoral parokial Lengko Ajang-Keuskupan Ruteng itu, merupakan singkatan, yang mereka sebut dalam Bahasa Manggarai Timur (baca: CONGKAR).
Inilah "GPK" yang mereka maksudkan:
"GPK adalah akronim dari Gereng Pate Keot"= Tunggu di bok-bok/tikungan. Untuk memahami istilah ini kita bisa membandingkannya dengan istilah atau ibarat "tilang gabungan", yang dilakukan oleh para Polisi Lalulintas, Dinas Perhubungan juga Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Saat tilang gabungan, sangat sedikit orang yang lolos atau dibebaskan.
Semua yang melanggar hukum atau aturan akan membayar lunas kewajiban saat itu juga, jika tidak mau mobil atau sepedanya motor mereka diangkut ke Markas Polisi baik Mapolres maupun Mapolsek.
Baca: Rabu Abu, Valentine’s Day Dan Pilpres 2024: Kekuatan Cinta Tanpa Ukuran
Istilah "GPK" ini biasanya dikenakan kepada mereka yang "suka/doyan menunda atau menunggak untuk melunasi kewajiban keuangan Gereja (Dana Iuran Paroki), pajak, dan pelbagai bentuk pelunasan atau pemenuhan kewajiban keuangan publik lainnya".
Fenomena "tunggu di tikungan atau bok-bok itu adalah suatu analogi".
Di wilayah tikungan itu, situasi dan lokasinya rumit. Kira-kira begini gambarannya:
Mau silih atau menghindar sudah sangat susah atau sulit.
Pasalnya, jalan sudah begitu sempit.
Di sisi atas jalan, ada tebing begitu tinggi;
Di sisi bawah jalan, ada jurang sangat dalam dan mengerikan. Jago-jago hilang semua (demikian bahasa kami di kampung).
Oleh karena itu, si pelanggar, mogok di tempat. Macet di tempat. Anda tidak bisa bergerak bebas lagi. Anda sulit menghindar, apalagi mau melarikan diri. Ibarat dalam permainan catur: "Anda terjebak dalam situasi skak-ster".
Demikianpun mereka yang menunggak membayar kewajiban keuangan iuran Paroki, pajak negara dan retribusi lainnya. Tidak ada pilihan lain, selain membayar lunas semua kewajiban keuangan Anda.
Dalam konteks Paroki, saat ada urusan penting seperti urusan pernikahan, pembaptisan anak, komuni pertama Anak, dll, Anda mesti melunasi atau minimal melunasi sebagian kewajiban keuangan Anda.
Jika tidak dikunasi, sangat mungkin, boleh jadi, urusan Anda atau anak dan keluarga Anda tidak akan dilayani.
Apakah ini sebagai bentuk penindasan? Tentu tidak. Ini bentuk penyadaran (konsientisasi) bagi mereka yang kurang tertib. Ini semacam "riong, tuing, titong" atau didikan, nasihat bagi mereka yang terlalu masa bodoh atau cuek bebek dalam kehidupan menggereja terutama memenuhi kewajiban sebagai umat beriman.
Terkadang, umat itu dekat dengan gereja hanya saat "ada perlu, ada maunya", setelah itu mereka menghilang atau lari jauh dari gereja.
Baca: Kebaikan Merupakan Aplikasi Kasih Sejati
Kebanyakan dari penunggak besar terkait pelunasan iuran Paroki atau dana lainnya akan melunasi semua pada saat urusan penting mereka atau keluarga darah mereka.
Dalam tuturan bahasa Congkar-Manggarai Timur, kira-kira demikian:
"Woko doong olo, dungki musi, bajar taung utangm ga". Artinya: "Oleh karena di depan ada halangan/hambatan, di belakang ada kesulitan dan masalah, maka Anda harus membayar semua hutang atau tunggakan Anda. Itu hal yang wajar. Itu adil juga".
Pesannya jelas: "Jangan terlalu cuek bebek atau masa bodoh (baca: 'Pinggu tema ejem") dalam hidup ini. Belajarlah untuk mencicil kewajiban keuangan Anda; entah dalam kehidupan menggereja maupun bernegara.
Jangan menumpukkan utang. Saat Anda menumpukkan hutang, Anda akan kesulitan membayar denda dalam jumlah yang sangat besar. Hal itu sangat menyulitkan atau membebankan Anda dan keluarga Anda juga Stasi, Lingkungan maupun KUB atau KBG Anda".
Terima kasih banyak kepada Bapak yang memantik disuksi tentang "GPK" pada suatu pagi.
Kami membahas hal ini (GPK) saat kami sedang melaksanakan Kapitel Rumah di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, tahun 2021 lalu dan kini saya merefleksikannya dengan cukup kritis, tenang dan cerdas karena sudah "mengambil jarak" dari kampung.
Saya memohon maaf untuk semua hal yang kurang berkenan di hati pembaca dan penunggak segala kewajiban keuangan, baik dalam hidup sebagai umat maupun sebagai masyarakat atau warga negara. Saya menyayangi kalian semua, makanya saya memohon agar menyicil untuk melunasi kewajiban keuanganmu.
Buang jauh rasa jengkel. Buang jauh sikap masa bodoh berlebihan. Ingat, orang dewasa itu mendahulukan pemenuhan kewajiban daripada menuntut haknya.
*) Penulis adalah Penulis Buku Jejak-Jejak Jiwa Bijak (cetak tahun 2019 dan dalam kurun waktu dua bulan lebih, buku J3B ini habis terjual).
Dia juga suka akan sastra dan Kesusasteraan, baik itu puisi, cerpen, prosa, dll. Belajar juga Filsafat, Teologi, Sosiologi, Antropologi dan multi-disiplin ilmu lainnya. Baginya, setiap fenomena kehidupan mesti direfleksikan.
Sebab sesungguhnya, kehidupan yang tidak direfleksikan tak pantas dihidupi.
Dia berniat menjadi mata, telinga, mulut dan saksi Sabda Allah dalam Era Digital. Beliau juga prihatin dengan orang yang membayar tunggakan hingga jutaan rupiah saat mengurus anak dibaptis, menerima Komuni Pertama juga saat anak atau orang tua menikah. Selamat memulai untuk bersikap cerdas dalam manajemen keuangan, mulai dari rumah kita masing-masing.