Oleh: RP. Stefanus Dampur SVD*)
"Jalan Rusak" Menuju Stasi Palue Paroki Hokeng Keuskupan Larantuka NTT |
Dulu ada teka-teki yang dilontarkan oleh almarhum Pater Ludger Lensing, SVD kepada Pak Yohanes Pake Pani, Bupati Ende yang berkunjung ke Detukeli, wilayah bagian utara Kabupaten Ende- Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Teka-tekinya begini: "Mencari jalan di jalan, apakah itu?".
Setelah berpikir panjang, Sang Bupati mengaku tak tahu jawabannya. Bupati meminta Pastor asal Jerman itu untuk menolongnya memberikan jawaban.
Lalu Pater Lensing, SVD memberikan jawaban sendiri terhadap makna teka-tekinya. Jawabannya: "Jalan jelek".
Baca: Orang Susah Menolong Orang Susah
Sungguh benar pernyataan Pater Lensing, SVD. Di tengah jalan jelek, kita mesti mencari jalan yang baik untuk dilewati. Jika kita memaksakan diri melewati jalan yang jelek, maka sesungguhnya kita membiarkan diri kita celaka dan kendaraan yang kita bawa akan rusak berat. Untuk memperbaiki tubuh yang celaka dan kendaraan yang rusak, tidak ada anggaran dari negara. Setiap individulah yang menanggung kecelakaan dan kerusakan kendaraan. Sungguh sialan hidup di negeri yang pemimpinnya kurang peduli terhadap kebutuhan rakyat dalam hal pembangunan infrastruktur. Dari dulu hingga sekarang rakyat masih sangat melarat dan merana.
**
Karena terkesan dengan teka-teki tersebut, menurut cerita, Pak John Pake Pani akhirnya memerintahkan Dinas PU (baca Pekerjaan Umum) Kabupaten Ende untuk mengerjakan jalan dari Wokonio menuju Watunggere dan menggusur lokasi lapangan Detukeli, yang hingga kini pada setiap hari Rabu dijadikan Pasar Mingguan oleh warga beberapa kecamatan termasuk dari daerah tetangga Kabupaten Sikka.
**
Itu tadi kisah di Detukeli Ende yang kini masih membekas dalam ingatan publik (minimal warga Detukeli dan Watunggere).
Bagaimana dengan kisah tentang jalan jelek menuju Stasi Santo Yosef Palue, Paroki Maria Ratu Semesta Alam Hokeng, kabupaten Flores Timur? Jalan di sini mirip-mirip kejelekannya dengan kondisi jalan di Detukeli yang dulu.
**
Jika Anda pernah ke Stasi Palue, Paroki Santa Maria Ratu Semesta Alam Hokeng-Keuskupan Larantuka, Anda akan menikmati buruknya kondisi jalan ke sana.
Beruntung bahwa umat kami sudah terbiasa dengan hidup sengsara. Mereka menjadi pribadi yang teguh, kokoh. Mereka tahu bahwa hidup ini keras, kawan.
Semoga saja belum ada pejabat negara atau daerah Provinsi dan Kabupaten Flores Timur yang melewati tempat ini. Kalau mereka pernah melintasi wilayah Sukutukang-Palue, berarti mereka mengetahui kebutuhan rakyat terkait perbaikan dan peningkatan mutu jalan ke sana. Jika mereka pergi ke sana dan menyimpulkan bahwa jalan di sana (Palue) bahwa jalannya baik atau sangat baik, maka mereka bisa disebut: "seolah-olah bermata buta" dan "pembuat kesimpulan yabg suka menipu atau berbohong". Mereka itu ibarat "punya mata tapi sengaja tidak mau melihat. Punya mata tapi seolah-olah buta".
Bagaimana mungkin mereka menganggap jalan jelek sebagai hal yang biasa saja. Atau mereka merasa biasa-biasa saja? Makanya jangan terlalu memakai rayben gelap jika mengunjungi rakyat supaya melihat kebutuhan rakyat secara riil, nyata, langsung dan jelas serta tepat sasaran. Susah juga jika punya pemerintah yang "seolah-olah". Seolah-olah buta. Seolah-olah tuli. Seolah-olah bisu. Seolah-olah semuanya baik. Seolah-olah semuanya beres. Seolah-olah semuanya makmur, sejahtera merata. Yah, semua seolah-olah.
Kalau mereka (baca: pemerintah) mengetahui dan mengenal kebutuhan dasar warga yakni: jalan beraspal, air bersih, listrik tidak berhenti menyala, pendidikan bagus dan kesehatan terjamin, maka mereka tidak akan tidur nyaman jika segalanya tidak beres. Kenyataannya mereka tidur aman-aman saja bahkan mengampanyekan diri sebagai "orang sukses". Yah, sukses membuat rakyat tetap sengsara, susah dan menderita. Salah satu buktinya, jalan yang masih sangat jelek dari Sukutukang ke Stasi Palue, Paroki SAnta MAria RAtu Semesta Alam (SAMARASA) Hokeng.
**
Mestinya pemerintah bersyukur bahwa rakyat mereka, terlalu sabar. Rakyat mereka bermental pejuang. Tidak mengeluh. Mereka tidak kalah pada kesulitan tetapi jadi pemenang. Ada tulisan inspiratif sekaligus kritikan yang tidak disadari banyak orang: "Anda berkunjung, Anda sudah berkorban". Saat Anda berkunjung ke Palue, Anda sudah berkorban melewati jalan yang sangat jelek. Panjangnya sekitar tiga (3) kilometer atau lebih.
**
Sudah 78 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda (1945-17/8-2023) tetapi warga stasi Palue, Paroki SAMARASA (SAnta MAria RAtu Semesta Alam) Hokeng masih "dijajah dan ditindas" juga oleh jalan jelek. Kapan jalan ini diperbaiki? Tak ada yang tahu. Pembaca juga pusing memikirkannya. Hanya Anda pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang paham, yang mengerti kapan hak dasar warga negara, terutama jalan beraspal baik dan bermutu, bisa terwujud.
**
Jalan ke Stasi Palue sungguh jelek. Batu-batu terlepas. Jalannya berlubang di mana-mana. Hal ini sungguh membahayakan pengendara sepeda motor dan mobil. Debupun ramai beterbangan di musim panas. Lumpurpun ramai melompat saat musim hujan. Penyakit batuk pilek bisa mendera rakyat bagi negara dan umat bagi gereja. Ayo, segera buka matamu untuk melihat. Buka mulutmu untuk berbicara. Buka telingamu untuk mendengarkan aspirasi rakyat bagi negara dan umat bagi agama, terkhusus warga di sana mayoritas mutlak beragama Katolik.
**
Seperti sudah saya sampaikan di awal bahwa menurut perhitungan saya, jalan yang jelek ke Stasi Santo Yosef Palue berjarak sekitar 3 kilometer atau lebih. Kondisinya sungguh sangat, amat jelek. Tidak perlu lagi bersandiwara. Tidak perlu lagi menutup-nutupi.
Konsisi ke palue ini, sungguh berbeda sekali dengan wilayah Sukutukang. Di wilayah Sukutukang, kita mekihat bahwa jalannya sungguh licin dan mulus. Yah, nampaknya beraspal baru. Itu membanggakan. Maunya kondisi jalan begitu semua.
**
Hari ini, Kamis (2/11/23), saya mengunjungi Stasi Santo Yosef Palue dalam rangka Misa peringatan semua arwah orang beriman. Mendoakan orang yang sudah mati itu. Banyak umat yang hadir dalam perayaan dimaksud. Saya bergembira menyaksikan pemandangan indah ini. Umat begitu antusias merayakan Ekaristi bersama. Mereka reka berjalan kaki dari tempat yang jauh ditambah lagi melewati jalan yang sungguh jelek.
Baca: Gerakan Pembersihan Pantai Dintor, Kedua imam Yang Berkarya di Paroki Denge Beri Komentar Bernas
"Kami tidak butuh diberi makan oleh negara. Kami hanya membutuhkan jalan beraspal yg baik, air yang sehat dan bersih serta mengalir lancar, juga listrik yang menyala tanpa gangguan. Pendidikan baik. Kesehatan terjamin. Sesederhana itu harapan kami", kata si nara sumber yang berpembawaan kalem tersebut dihiasi dengan beningan kristal di matanya. "Kami berharap, pemerintah memperhatikan peningkatan mutu dan kondisi yang lebih baik ke sini", tambahnya dengan pembicaraan yang terbata-bata karena kekecewaan kepada pemerintah.
**
Mobil L-300 yang dikendarai oleh Om Yosef (Sopir Paroki Hokeng) segera meluncur setelah kami menikmati makan siang bersama Wakil Umat di pelataran Kapela. Kami mesti pamit ke markas besar. Tentu tetap melewati jalan jelek tadi. Saya berharap bahwa ke depannya, jalan menuju stasi Palue membaik. Itupun kalau ada pemerintah yang tidak buta, bisu, tuli. Semoga mata, mulut dan telinga mereka semua, membaik dan sehat.
**
*) Penulis adalah pemerhati sosial, termasuk memperhatikan kondisi jalan-jalan jelek dan berlubang di seluruh jagat raya, mulai dari Stasi Santo Yosef Palue Paroki Hokeng-Keuskupan Larantuka ini.