Oleh: RP. Stefanus Dampur SVD*)
Lawanlah "Kultus Individu" |
Introduksi Pendek
Pernahkah Anda mendengarkan orang menyebut istilah atau lebih tepatnya parafrase "kultus individu"?. Apa yang Anda pahami tentang kultus individu? Adakah "oknum" di wilayah domisili Anda yang selalu dikultus-individukan? Mengapa fenomena kultus individu itu bisa lestari dan langgeng hingga kini?
Inilah beberapa pertanyaan menggelitik yang coba digali penulis dalam tulisan sederhana ini.
Saya tidak ingat pasti, kapan pertama kalinya, saya mendengarkan istilah, lebih tepatnya, parafrase "kultus-individu" ini. Hal yang paling pasti bahwa hal ini merupakan hal umum di banyak tempat. Lebih lagi dalam situasi kepemimpinan yang feodal, otoriter, diktator, "merasa paling tahu semua" dan menyatakan kepada publik: "Saya ini senior". Saya tak pernah gagal di manapun saya berkarya".
Ahaaaaa...lnilah hal yang mau saya kejar, saya telisik, saya selidiki, saya teliti, saya survey, saya dalami, saya konfrontasikan dengan "kenyataan sesungguhnya" dalam studi lapangan juga "penelitian lapangan (field research). Saya juga akan mencari informan kunci.
Selayang Pandang tentang Kultus Individu
Saat saya melakukan "googling" dengan pertanyaan: "Apa itu kultus individu?". Saya memeroleh jawaban demikian:
"Kultus individu, pemujaan kepribadian (baca: cult of personality,-pen), atau kultus pemimpin muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur pemimpin ideal atau pahlawan, seringkali melalui pujian berlebihan. Pemujaan kepribadian banyak ditemukan dalam negara dengan sistem kediktatoran" (Wikipedia, di-download pada hari Sabtu, 4 Februari 2024, pkl. 15:53 WITA, oleh: Stef Dampur).
Kita bisa mendapatkan informasi tentang para Diktator yang terkenal di dalam sejarah dunia, antara lain: "J. Stalin (Uni Soviet), A. Hitler (Jerman, Nazi), B. Mussolini (Italia), F. Franco (Spanyol), Mao Zedeng (Tiongkok), Fidel Sastro (Kuba), dll" (Bdk. Ibid).
Baca: Cakap Menata Kata
Semua pemimpin yang disebutkan ini, memimpin rakyat mereka dengan penuh kediktatoran. Ada para diktator lain yang belum saya sebutkan. Mereka juga sering mengklaim diri sebagai pemimpin demokratis-humanis tetapi sesungguhnya mereka ahli di bidang "pandai bersandiwara". Mereka berpenampilan "muka senyum manis manja semanis gula batu", tetapi kenyataannya adalah "monster penghisap darah paling berbahaya". Mereka itu adalah perwujudan sesungguhnya dari pembunuh berdarah dingin.
Propaganda Lewat Media Massa
Para Diktator-otoriter-feodal tersebut "menguasai" media massa (institusi juga platform) dan pemilik (owner). Mereka "menempatkan" orang yang ahli menulis atau meramu kata menjadi kalimat, kalimat jadi alinea, alinea demi alinea menghasilkan "satu tubuh" tulisan di media massa dan penulis tersebut akan "menjamu" pemilik media massa tersebut (baik cetak maupun elektronik) dengan keahlian yang berkelas tinggi.
Tujuan mereka jelas: "supaya mempropagandakan" si bos diktator-otoriter-feodal" tersebut sebagai "orang baik, orang serba sukses" dan yang "mengklaim diri tak pernah gagal". (Ini sungguh pencitraan pribadi yang memuakkan). Mereka akan mempromosikan pimpinan mereka sebagai "orang yang peduli rakyat (jika dalam lembaga keagamaan disebut: peduli umat, meskipun dalam kenyataannya, dia, rajin mendekati umat karena iming-iming nama besar, prestasi, prestise, popularitas, previlese, faktor mamon, uang, harta, kenikmatan hidup, dll). Di samping itu, ketika dia mengumat, sesungguhnya memperalat mereka untuk mencapai "hidden agenda" atau agenda tersembunyi yang biasa dipraktekkannya sudah sekian lama. Misalnya membangun jejaring bisnis gelap demi keuntungan diri si bos dan kroni-kroni si diktator-otoriter-feodal itu. Omongannya bombastis dan banyak "wora" hanya untuk memanipulasi suasana kebersamaan agar terlihat akrab dan keren tetapi nyatanya "menjadikan semuanya sebagai alat pemuasan dirinya dan mengamankan maksud tersembunyi karena "ada udang di balik batu".
Metode Lain: Memakai Joki sebagai Promotor
Dalam dunia lobi-melobi, biasanya ada "joki" yang memuluskan dan memperlancar segala urusan. Si joki tadi menjadi semacam "jembatan" antara yang memerlukan (misalkan A) dan diperlukan (misalkan B). Namanya memakai "joki" berarti ada "upah" yang harus diberikan. Bukankah setiap pekerja patut mendapatkan upahnya? Orang Kristen punya perikop Alkitab yang bunyinya seperti tadi (setiap pekerja patut mendapat upah).
Baca: Pohon, Penyelamat Bumi
Si "Joki" menjadi "promotor", "juru kampanye, tim sukses" bagi si subyek yang akan dikultusindividukan itu.
Anda tahu, bukan? Dalam mengkampanyekan seorang figur, tidak pernah dinyatakan kejelekan atau keburukannya. Yang ada hanyalah "litani kebaikan, litani kekudusan, litani kesuksesan, litani kemuliaan, litani jasa yang dilakukan, litani tanpa cacat-celah, dll". Alasannya: itulah yang dipesankan oleh oknum diktator, feodal, otoriter tadi. Bagi si diktator-otoriter-feodal, hanya dirinyalah sebagai senior. Hanya dia yang benar, yang baik, yang sukses. Dia paling gembira kalau dikultusindividukan.
Sialan!!
Masih ada juga pemimpin yang halu (berkhayal tinggi) model begini ni.
Mengklaim Diri Sendiri sebagai Pemimpin Ideal
Para Diktator-otoriter-feodal, biasanya dalam kesempatan pertemuan dengan banyak orang menyampaikan litani Kesuksesannya di banyak tempat dan banyak situasi. Dia mengklaim diri sebagai pemimpin ideal. Dia berkisah bahwa banyak orang menjadi sukses karena jasanya, karena didikan, karena nasihatnya, karena petuah dan petunjuknya. Dia tak pernah dengan jujur mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang bukan hanya faktor tunggal dia sebagai pendamping atau mentor, tetapi juga karena Rahmat Allah dan komitmen perjuangan si individu yang bersangkutan juga. Dasar seorang diktator-otoriter-feodal "maunya dia semua sebagai sumber kesuksesan" orang lain. Sebaliknya jika seseorang yang didampinginya gagal, maka dia akan menimpakan semua kegagalan tersebut pada diri orang yang bersangkutan dengan keluarganya bahkan menuduh Tuhan tidak memberkatinya. Begitulah kaum diktator-otoriter-feodal suka mengklaim diri sebagai pemimpin ideal yang sempurna. Kalau boleh dia dipuji sebagai "Manusia Super/Unggul/Adimanusia/Ubermensh".
Dia menceritakan semua kehebatannya bahwa hanya karena dia, suatu peristiwa ajaib bisa terjadi. Pemimpin otoriter-diktator-feodal akan menjadikan diri, pengetahuan, pengalaman dan kebijaksanaannya sebagai patokan kebenaran universal. Oleh karena itu, yang berbeda dengan dia dicap sebagai musuh, kalau sudah dicap sebagai musuh maka orang tersebut harus dimatikan atau dieliminasi atau disingkirkan.
Pemimpin Diktator-Otoriter-Feodal Suka Dipanggil Orang Penting, Penjasa Bahkan Pahlawan
Si diktator-otoriter-feodal senantiasa mengisahkan pengalaman heroik rekaannya sendiri, karangannya sendiri. Biarpun dia berbohong tetapi orang tetap percaya, terutama kaum "mayoritas pandir dan loyalis burung beo" atau kaum penjilat.
Mereka semua mengangguk di depan pemimpin diktator-otoriter-feodal, karena mau "mencari aman dan tak mau posisi mereka terganggu atau diganggu" oleh si pemimpin diktator-otoriter-feodal tadi.
Mayoritas pandir merelakan harga diri mereka digadaikan demi kepentingan oportunis-pragmatis di hadapan pimpinan berwatak diktator-otoriter-feodal yang bengis dan tidak manusiawi.
Momen Introspeksi Diri
Jika ada di antara pembaca yang berniat dan berminat mengkultusindividukan seseorang berarti Anda sedang melestarikan kepemimpinan yang diktator-otoriter-feodal. Anda sedang tidak baik-baik saja. Anda mesti segera bertobat.
Sehebat apapun manusia, dia tetap memunyai kekurangan dan kelemahannya. Jangan sampai kita mendewakan manusia biasa. Jangan sampai kita memuji manusia melampaui pujian kepada Tuhan Allah Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi dan begitu Mahabijaksana. Janganlah kita berlebihan memuji manusia sebagai figur pemimpin ideal atau pahlawan yang sempurna tanpa cacat celah.
Bagi para pemimpin diktator-otoriter-feodal segera sadarlah bahwa Anda tidak abadi menjadi pemimpin. Anda juga tidak abadi di dunia ini. Anda akan mati. Sadarlah bahwa Anda memimpin dibatasi durasi waktu. Kalau Presiden 5 tahun dan bisa dipilih kembali 5 tahun berikutnya. Artinya maksimal 10 tahun. Itu tidak lama.
Kalau seorang Pastor Paroki yang SVD, maksimal 6 tahun menjadi Pastor Paroki di suatu tempat (ini menurut Hasil Resolusi Kapitel di Mataloko, tgl 21-28 Januari 2024). Kalau menjadi Gubernur, Walikota, Bupati, durasi waktunya per periode juga 5 tahun dan sebanyak-banyaknya 2 periode (10 tahun). Yang tak ada durasi waktunya (mungkin) DPD, DPR, DPRD I, DPRD II, dan para raja yang kekuasaannya diwariskan turun-temurun.
Penutup Singkat
Tak ada manusia super atau maha sempurna. Yang sempurna paripurna hanyalah Allah. Oleh karena itu, jika Anda dipercayakan menjadi Pemimpin entah di KBG, Lingkungan, Stasi, DPP, Paroki, Kevikepan/Dekenat/Kuria, Keuskupan, Persekutuan Para Uskup, menjadi Paus, menjadi Sekjen PBB, Presiden, Raja, Duta Besar, Menteri, Deputi, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, Dusun, RT, RW, Kepala Keluarga, pemasak, karyawan/ti, janganlah Anda menjadi pemimpin yang diktator-otoriter-feodal di lingkungan tugas Anda masing-masing. Buatlah saja hal yang baik, yang penting, yang benar, berguna, menyelamatkan dan membahagiakan diri (tanpa mesti jatuh ke sikap egoistis dan individualistis) dan membahagiakan semakin banyak orang dan demi kepentingan orang banyak (altruistis).
*) Penulis sedang berperang dengan kaum diktator-otoriter-feodal baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Berbeda pendapat dalam debat itu biasa. Mari kita carikan solusi terbaik demi "bonum commune" (kebaikan bersama).