Oleh: RP. Tuan Kopong MSF
Liturgical Abuses: Kalau Saja Kita Masih Mempunyai Rasa “Malu” |
Takhta Suci melalui Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman terus menerus mengingatkan kita semua terutama para Uskup dan imam untuk taat pada Pedoman Liturgi terutama ketika merayakan Ekaristi. Bahkan di Indonesia sendiri, kita mengalami beberapa kali revisi terkait Tata Perayaan Ekaristi. Hal ini menjadi sebuah himbauan untuk membangkitkan kesadaran dan ketaatan iman kita bahwa penyelewengan liturgi justru dilakukan oleh kita para Uskup dan Imam.
Kadang kita mungkin merasa benar apa yang kita lakukan saat memimpin misa, tapi belum tentu benar sesuai dengan ajaran iman dan pedoman Gereja. Saya selalu meyakini bahwa Gereja Katolik ini berkembang karena karya Roh Kudus, kuasa dan karya Allah sendiri melalui orang-orang sederhana dan rendah hati dan bukan semata melalui kotbah sambil menari atau menyanyi, misa sambil tepuk tangan diiringi band yang meriah.
Pada tanggal 03 Februari 2024 Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman mengeluarkan catatan doktrinal yang berjudul; “Gestis Verbisque” (Melalui Gerak Tubuh dan Kata-Kata) yang hendak menegaskan kembali bahwa kata-kata (formula) dan unsur-unsur yang ditetapkan dalam ritus esensial setiap sakramen tidak dapat diubah karena perubahan tersebut menjadikan Sakramen tidak sah.
Catatan Doktrinal ini hendak mengingatkan kita semua terutama para Uskup dan Imam bahwa unsur penting dalam setiap Sakramen yaitu: Material dan Forma Sakramenti tidak dapat diubah sesuka hati atas nama kreartivitas. Kenyataannya, melakukan hal ini menjadikan Sakramen itu sendiri tidak sah; oleh karena itu rahmat Sakramental tidak pernah ada dan tidak ada rahmat Sakramental yang dianugerahkan.
Baca: Jadi Katolik Jangan NATO (No Action, Talking Only-Mrk 1:29-39)
Kardinal Fernandez selaku Perfect Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman mengingatkan bahwa; “walaupun dalam bidang lain dalam tindakan pastoral Gereja terdapat banyak ruang untuk kreativitas,” dalam bidang perayaan sakramental hal ini “berubah menjadi kehendak manipulatif.”
Munculnya catatan dokrtinal ini memperlihatkan bahwa tugas Gereja adalah memprioritaskan tindakan Allah dan menjaga kesatuan Tubuh Kristus dalam tindakan-tindakan yang tidak ada bandingnya di dalam perayaan sakramental karena tindakan itu adalah tindakan Imamat Kristus sendiri. Maka kreativitas dalam perayaan sakramental justru mengaburkan bahkan menghilangkan substansi dari perayaan tersebut yang sejatiny dengan perayaan tersebut kita melestarikan tindakan penyelamatan yang dipercayakan Yesus kepada Gereja dalam hal ini kepada para Uskup dan Imam sebagai pelayan biasa Sakramen-sakramen.
Maka dari itu tindakan dalam perayaan Sakramen sama sekali tidak pernah bergantung pada kehendak individu baik itu Uskup atau Imamnya maupun umat dan komunitas individu.
Baca: Mewartakan Injil di Tengah Situasi Keterlukaan Dunia
Liturgi memungkinkan adanya keragaman yang menjaga Gereja dari keseragaman yang kaku,” sebagaimana dibaca dalam Konstitusi Konsili Sacrosanctum Concilium. Akan tetapi, keragaman dan kreativitas yang mendorong kejelasan ritus dan partisipasi aktif umat beriman, tidak dapat menyangkut hal-hal yang esensial dalam perayaan Sakramen.
Semoga kita semua menyadari bahwa perayaan Sakramen yang kita rayakan sejatinya membuat kita semakin taat dan rendah hati dan bukan untuk memamerkan kreativitas dan kehendak pribadi yang justru memperlihatkan bahwa kita sedang tidak melaksanakan Imamat Kristus namun melakukan penyelewangan yang dilakukan secara sadar.
Manila: 05-Februari, 2024