Oleh: RP. Stefanus Dampur SVD*)
Menghayati Kesalehan, Menyucikan Hati dan Berdamai dengan Allah |
Menghayati Kesalehan Kristiani
Orang dengan mudah mengetahui kesalehan Kristiani itu lewat membaca dan merenungkan perikop Injil Mateus 6:1-6.16-18.
Di situlah sesungguhnya terdapat referensi valid.
Sebenarnya, kesalehan hidup beragama tersebut, sudah dihayati oleh kaum Yahudi. Kesalehan ini kemudian "dimaknai secara baru "oleh Yesus Kristus. Lalu, gereja meneruskannya.
Lewat goresan sederhana ini, saya lebih cenderung untuk memberikan semacam "singkatan" dari tiga kesalehan Kristiani tersebut. Tujuannya: supaya memudahkan ingatan pembaca.
Ketiga kesalehan Kristiani tersebut, saya singkatkan dengan: "DPD= Doa, Puasa, Derma".
Mari kita bahas bersama masing-masing jenis kesalehan kristiani tersebut.
Pertama, Doa.
Nama lainnya ibadat/sembahyang (bdk. Mateus 6:5-15).
Di sana dikatakan: "Apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik (...) supaya dilihat orang".
Upah mereka yakni dipuji oleh sesama manusia: "Uihhhh, hebat mereka e, mereka rajin berdoa di rumah ibadat, juga di tikungan jalan raya. Luar biasa". Setelah orang puji lalu selesai. Tak ada nilainya. Tak ada makna fundamentalnya.
Padahal, Tuhan Yesus menghendaki hal yang lain sama sekali. Kata Tuhan Yesus: "Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi, maka Bapamu (...), akan membalasnya kepadamu".
Menurut penafsir Alkitab Perjanjian Baru, Dianne Bergant dan Robert J. Karris: "Sikap yang harus dihindari adalah memamerkan diri dalam doa" (Mateus 6:5). (Bdk. Dianne Bergant dan Robert J. Karris: 2002, 43).
Kedua, Puasa (Mateus 6:16-18).
Nama lainnya adalah Matiraga/Ugahari/Mawas Diri.
"Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu" (Mat 6: 17); "Supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa (...)".
(Mat 6: 18).
Biarkan hanya Allah Bapa di surga yang mengetahuinya.
Dalam tafsiran Dianne Bergant dan Robert J. Karris, dijelaskan: "Ada hari khusus yang ditentukan untuk berpuasa dalam penanggalan Yahudi, dan biasanya, orang Farisi yang saleh berpuasa selama dua hari dalam seminggu. Yang dikritik oleh Yesus dalam ayat 16 bukannya tindakan puasa itu sendiri, melainkan penonjolan puasa di depan orang banyak bahwa seseorang sedang berpuasa (...). (Lihat, Dianne Bergant dan Robert J. Karris, 2002, 44).
Dalam hal ini jelas, Yesus mendukung aktus berpuasa, tetapi modus atau cara berkuasa yang cenderung "pamer di depan orang", itulah yang dikritik. Itulah yang mesti dihindari. Untuk apa pamer saat berpuasa? Tidak ada makna, tidak nilai abadinya.
Pesan Tuhan ini, sungguh gampang dipahami yakni "jangan pamer di depan orang lain" tentang kesalehan agamamu. Biarkanlah Allah di surga saja yang tahu bahwa Anda sedang berpuasa. Janganlah kita melakukan kewajiban agama hanya bagian "kulit luar", menjadi "agama kesan, agama tampilan luar, agama fisis, agama sangat material".
Lebih parah lagi, jika kita mulai meludahi orang lain. Lebih jelek lagi jika mengkafirkan orang lain. Lalu, kita mengklaim diri sebagai orang yang paling saleh, paling suci. Ini sungguh berbahaya. Segeralah bertobat dari cara berpikir model begini!
Ketiga, Derma.
Nama lainnya sedekah atau sumbangan sukarela (Bdk. Mateus 6:1-4).
Dalam perikop Mateus 6:2 ditegaskan: "Jadi, apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang".
Selanjutnya dalam perikop Injil Mateus 6:3 tertulis: "...Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu, apa yang diperbuat tangan kananmu (...)". Tujuannya lagi-lagi sama yakni supaya biarkanlah hanya Allah Bapa di Surga yang mengetahui dan membalasnya kepadamu. Kita tidak perlu menghitung jasa dan pemberian kita di hadapan Allah sebab sesungguhnya semua yang kita miliki itu merupakan milik Allah yang Mahakuasa. Kita hanyalah penyalur dan perpanjangan tangan kasih Allah kepada mereka yang sungguh sangat membutuhkannya.
Dalam paragraf ke-3 tafsiran tentang "memberi sedekah", Dianne Bergant dan Robert J. Karris mengungkapkan kebenaran biblis ini: "Para murid Yesus diberikan instruksi (baca: perintah, -pen), untuk melepaskan kecenderungan penonjolan diri, bahkan dinasihatkan untuk tidak mencari kepuasan dengan mengetahui apa yang mereka berikan" (Mateus 6:3). (Lihat, Dianne Bergant dan Robert J. Karris, 2002, 44).
Sucikan Hati dan Pikiran
Nabi Yoel berbicara terus-terang dan lugas, apa adanya. Dia tidak mempraktikkan pembicaraan diplomatis murahan. Dia berbicara langsung pada tujuan pokok dan hal substansial: "Koyakkanlah hatimu dan janganlah pakaianmu" (Kitab Yoel 2:13). Fokus pada pembaharuan dan pemurnian hati. Itu berarti kita diminta untuk "tengok ke dalam". Kita perlu membersihkan hati dan pikiran yang kotor. Fokus kita bukan pada "fashion show", meskipun hal itu juga kian marak pada masa kini. Lihat saja saat perayaan besar keagamaan kita, misalnya: Natal dan Paska, bahkan pada hari Minggu biasa, gereja macam arena "fashion show", perlombaan dan pertunjukan kostum. Kita lupa bahwa pakaian untuk perayaan liturgi itu begitu standar dan sederhana yakni: rapi dan sopan. Itu sudah cukup. Itu sudah pas. Jangan "dislokasi (tidak pada tempatnya)". Jangan memakai pakaian olahraga saat masuk dalam ibadah atau pakaian ke tempat pesta Komuni pertama atau pesta nikah atau kondangan. Itu tidak cocok lokasinya. Mungkin itu juga yang disebut "SALTUM= SALah kosTUM". Kostum harus benar sesuai dengan judul acaranya. Maksud mulia dari "berpakaian sesuai dengan judul acaranya" yakni supaya kita tidak menyebabkan orang lain "masuk ke dalam percobaan" dan supaya kita tidak membuat skandal publik yang merusakkan reputasi kita juga. Kita bisa menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi dan berakibat buruk bagi diri fan sesama dan pada gilirannya juga merusakkan hubungan kita dengan Tuhan Allah.
Berdamai dengan Allah
"Berilah dirimu didamaikan dengan Allah" (2 Kor 5:20b).
Orang yang rajin berdoa, berpuasa dan berderma dan bersih hati serta pikirannya, akan sangat mudah untuk berdamai dengan Allah. Jika begitu mudah berdamai dengan Allah, maka akan mudah pula untuk berdamai dengan sesama manusia dan segala ciptaan lainnya.
Orang yang dicerahkan oleh sinar ilahi akan bertindak jernih, baik dan benar. Dia, (manusia yang dicerahkan oleh sinar ilahi itu) tidak merasa terbebani dengan dinamika dan problematika kehidupan.
Dia, sekali lagi, hanya mau berbuat baik, benar, penting, berguna, menyelamatkan dan membahagiakan diri dan sesamanya serta memuliakan Allah, Sang Pencipta. Dia melakukan semuanya dengan cara yang benar untuk tujuan yang mulia, demi keselamatan holistiknya: jiwa dan raga, dunia-akhirat.
Selamat menunaikan ibadah puasa, berdoa dan bersedekah, bagimu semua umat Katolik di seluruh dunia.
*) Penulis membawakan bahan refleksi biblis ini pada perayaan hari Rabu Abu tahun 2024 di Stasi Sukutukang, Paroki Hokeng pada Selasa sore (13/2/24).