Oleh: Sil Joni*
"Nasib Literasi" di Musim Kontestasi Politik |
Ketika Pemilu dimaknai sebagai "pesta demokrasi", maka sisi 'kemeriahan dan keramaian', menjadi agenda prioritas. Kita tertarik untuk 'terlibat' dalam hingar-bingar hajatan politik. Sebagian energi tersedot untuk berpartisipasi dalam pelbagai seremoni politik yang secara rutin dihelat oleh para pemain politik.
Baca: Pemilu, Kasih, dan Politik Rabu Abu
Hiruk-pikuk aktivitas politik semacam itu, tentu kontras sekali dengan 'kultur literasi' yang hanya tumbuh di tengah latar situasi yang sunyi. Bagaimana mungkin kita bisa membaca karya bermutu dan memproduksi tulisan yang berbobot di tengah gegap gempita pesta politik itu. Nasib aktivitas literasi semakin 'tersisih' ketika kita terbuai dengan 'tawaran pragmatis' dari panggung politik.
Bisa dipastikan bahwa kita tak punya cukup waktu untuk masuk dalam 'bilik kontemplasi teoretis' guna menuangkan pikiran bernas setelah saban hari bergaul dengan isu-isu politik kontestasi. Tidak mengejutkan jika kita jarang bersua dengan 'wacana kritis dan kualitatif' yang didiseminasikan dalam ruang publik digital di level lokal.
Beruntung media mainstream seperti Harian Kompas, Majalah Tempo, Media Indonesia, dll masih setia 'menurunkan artikel opini' yang bersifat mendalam, kritis dan mencerahkan dalam rubrik opini mereka. Dahaga untuk mendapatkan tilikan yang berkualitas, pasti terbayar lunas jika kita tertarik untuk mengakses versi digitalnya dan punya waktu melahap aneka refleksi tersebut.
Tetapi, rupanya kita lebih 'terpikat' dengan isu-isu sensasional, agitatif, insinuatif, provokatif dan picisan dari gelanggang politik itu. Diskusi yang beredar di ruang publik, masih menyentuh hal-hal superfisial (di permukaan). Kita lebih terpesona dengan kulit (pembungkus), ketimbang substansi.
Baca: Pemilu: Berjalan Bersama Sukacita, Harapan, Duka dan Kecemasan Bangsa Indonesia
Diskursus yang bersifat dialektis dan edukatif 'relatif tenggelam' di tengah arus euforia pengkultusan individu. Kita lebih senang tampil sebagai pemberi sorak-sorai kepada jagoan politik dan berusaha mencederai reputasi mereka yang dianggap lawan politik melalui rupa-rupa trik.
Di tengah 'setting politik' seperti ini, sulit rasanya (untuk tidak dibilang mustahil) budaya literasi bertumbuh subur. Alih-alih berkembang, justru di musim kontestasi, kultur literasi terkubur.
Padahal, kalau mau jujur, stok isu untuk direfleksikan dan dinarasikan secara elegan cukup melimpah dalam pesta politik itu. Kita bisa membaca secara kritis dan kreatif pelbagai fenomen yang tersaji dalam gelanggang kontestasi. Beragam perspektif, teori, dan sudut pandang bisa digunakan guna membedah dan memungut makna yang tersembunyi di lapisan dalam dari apa yang terlihat di wilayah permukaan.
Namun, rupanya kerja permenungan (theoria, kontemplasi) semacam itu, belum menjadi habitus dan dianggap sebagai kebutuhan rohani yang mendesak untuk dipenuhi. Kita lebih mengutamakan pemenuhan 'kebutuhan politik' yang bersifat musiman dan cenderung dangkal.
"Budaya komentar" yang terpenggal-penggal sukses menggilas budaya literasi. Ada kecenderungan bahwa aktivitas (baca-tulis) direduksi hanya sebatas 'menulis komentar'. Ada yang menilai bahwa dirinya sudah menghidupkan 'budaya literasi', khususnya menulis melalui ribuan komentar pendek di media sosial. Keseringan 'berkomentar' dipatok sebagai 'prestasi literasi' yang mengagumkan.
Tetapi, masalahnya adalah 'komentar' tersebut bersifat parsial atau sepotong. Kita semakin tidak terbiasa untuk berpikir mendalam dan komprehensif. Komentar-komentar yang dilepaskan di ruang publik digital, umumnya belepotan dengan 'limbah emosi'. Rasionalitas terdepak. Kita hanya 'mengirim' letupan emosional yang bersifat sesaat dan egoistis.
Baca: Politik Cinta
Karena itu, tidak heran jika fenomena komentar, terutama di media sosial, tidak jarang menimbulkan keresahan dan bahkan konflik. Sejak media sosial berkembang, orang semakin mudah menyebarkan segala macam omongan, dan berkomentar sesuka hati, mulai dari kabar serius sampai desas desus politik, perang ideologi, rasisme, dan sebagainya. Alih-alih memperkuat budaya literasi, selebrasi terhadap 'budaya komentar' merupakan ekspresi kedangkalan berpikir yang bisa dibaca sebagai 'terputusnya' budaya literasi.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.