Oleh: Sil Joni*
Suka-Duka Menyusuri Jalan Sunyi Literasi (Percikan Obrolan Ringan Bersama 'Peminat Literasi', Viktor Damianus Fidelis) |
Dalam dua tahun terakhir, nama Viktor Damianus Fidelis, seorang staf pengajar di SMPN 4 Komodo, mulai menarik perhatian publik di level lokal, khususnya mereka yang 'menggeluti' dunia literasi (baca-tulis) secara serius. Betapa tidak. Pak Fidelis, sapaan akrab beliau, telah memperlihatkan 'pesonanya' dalam bidang literasi.
Baca: Narasi Kecil Kegiatan Arisan Congkar Maumere dan Kelompok Tani Kolisia-Magepanda Maumere
Hal itu, akan terkonfirmasi ketika kita mencicipi buah pikirannya yang tersaji secara reguler melalui akun facebook pribadinya, 'Fidel Paguyu'. Dalam akun media sosial itu, sudah puluhan bahkan ratusan 'tulisan pendek' yang diracik dengan sangat baik. Dengan ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pak Fidel merupakan satu dari 'sedikit guru' di Manggarai Barat (Mabar) yang termotivasi untuk menghidupkan kultur literasi secara konsisten.
Siang ini, Senin (26/2/2024), pak Fidel yang merupakan Calon Guru Penggerak ini, datang ke SMK Stella Maris. Sebetulnya, beliau hanya mau dapat informasi pasti soal perkembangan salah satu keponakannya yang studi di lembaga ini. Setelah urusan pengecekan itu selesai, beliau berbincang akrab dengan pak Hans persis di depan beranda ruangan guru.
Barangkali agar 'obrolan' itu tambah seru, pak Fidelis coba mengirim pesan melalui WA kepada saya bahwa dirinya ada di sekolah. Tanpa pikir panjang lagi, saya beranjak dari 'ruang kurikulum' ke teras ruangan guru.
Tema literasi cenderung 'tersingkir' pada awal percakapan. Maklum, saat itu hadir juga pak Alfons Rebiu yang punya kepedulian yang besar terhadap isu-isu politik. Topik seputar hasil kontestasi pemilihan legislatif (Pileg) begitu dominan dalam perbincangan itu. Seperti basa, saya selalu tampil sebagai 'penyimak' yang baik.
Diskusi mengenai 'dinamika aktivitas literasi', baru mendapat tempat, setelah pak Alfons 'pamit' dari hadapan kami. Pak Fidel coba membagi pengalamannya selama menekuni semesta literasi itu. Hal yang mendapat sorotan adalah 'pengalaman kebuntuan' dalam menggarap sebuah tulisan. "Saya sering mengalami kebuntuan untuk mengembangkan lebih jauh isu yang sedang saya tulis", ungkap pak Fidelis.
Baca: Lawanlah "Kultus Individu"
Apa yang diutarakan pak Fidel itu, hemat saya dalam level tertentu, dialami oleh semua orang, terutama mereka yang masuk kategori 'pemula'. "Jika alami situasi buntu, tinggalkan sejenak aktivitas itu. Jangan paksa diri. Nanti, pada titik tertentu, inspirasi akan muncul lagi.
Intinya, adik tetap konsisten untuk terus memproduksi tulisan". Itulah tanggapan saya terhadap problem kebuntuan tersebut.
Selain itu, pak Fidelis juga menyinggung soal kurangnya stok perbendaharaan kata. Diksi yang digunakan untuk membahasakan sebuah isu, masih kurang variatif. Untuk mengatasi masalah ini, membaca buku-buku dari penulis hebat, bisa menjadi solusi yang cerdas. Saya mendorong dirinya untuk membaca buku-buku yang ditulis Ignas Kleden, Daniel Dhaki Dae, Frans Magnis Suseno, Yudi Latif, F. Budi Hardiman, Goenawan Mohamad, dll.
Rasanya, kita tidak mungkin menghasilkan tulisan yang lezat, kaya ide, dan berbobot jika tidak mendapat asupan bacaan yang berkualitas. Membaca dan menulis itu 'satu paket'. Penulis yang bermutu, tentu saja, lahir dari pribadi yang tekun melahap sumber bacaan yang bermutu juga.
Dari percakapan singkat itu, saya mendapat kesan bahwa pak Fidelis punya komitmen dan keberanian untuk menghidupkan budaya literasi secara serius. Sebuah kesan yang menerbitkan rasa bangga. Di tengah kuatnya 'budaya komentar dan tutur lisan' saat ini, masih ada pribadi yang mau menyusuri 'jalan sunyi' literasi. Sebuah dunia yang pasti 'kurang digemari' oleh kebanyakan orang.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.