Oleh: RP. Stefanus Dampur SVD*)
Toto Rawin Ta "Molas" (Tunjukkan Wajah Manismu "Ular") |
Kata Ayah: "Ular Penjaga Kita"
Dulu, sudah lama sekali. Jika saya tidak salah ingat, sekitar tahun 1991/1992. Saya duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Saya sering turun ke kebun dan sawah Samboleng untuk membantu ayah dan ibu. Yah, namanya anak kecil membantu orang tua sesuai kemampuan sajalah.
Baca: Tentang Aku dan Kamu; Pengetahuan Sejati Jaga Cinta Kita
Terkadang memetik kopi, mengetam padi, mencari kayu api, memberikan makanan babi, memindahkan kuda, kerbau, dll. Itu yang rutin.
Hal yang tidak rutin ialah mengikuti perintah Ayah untuk menangkap ular. Ular ini kebanyakan berbisa.
Oh iya. Sebelum melanjutkan kisah menangkap ular, saya melihat Ayah, saat membersihkan kebun vanili, "ditemani" dua atau tiga ekor ular yang "berjalan mundur" sepertinya menggunakan "kekuatan ekor" sedangkan wajah ular tetap ke wajah Ayah. Saat itu, saya berteriak histeris ketakutan. Ayah datang dan berkata: "Jangan takut, mereka itu penjaga kita".
Lalu, sayapun terdiam tetapi tetap ketakutan. Seiring perjalanan waktu, saya sangat terganggu dengan kalimat Ayah: "Jangan takut, mereka itu (ular,-pen) penjaga kita". Pertanyaan berkecamuk dalam hati saya: "Benarkah ular itu penjaga?". "Bukankah dia itu musuh abadi?" "Kalau dia itu penjaga, mengapa menggigit manusia?"
Ular Paham "Bahasa" Ayahku
Saya ingat betul pernyataan Ayah pada suatu waktu: "Kau yang cocok darah dengan Saya". "Memang, tidak salah. Saya kan anak Ayah", jawab saya sekenanya, karena waktu itu, saya tidak paham dengan kalimatnya: "Kau yang cocok darah dengan saya". Yang penting komunikasi berjalan. Ayah membuat pernyataan, saya menjawabi pernyataan Beliau. Bukankah itu anak yang baik...? Hehehehe...
Baca: Kumpulan Puisi Terbaik Karya Siswa/i SMKN 1 Satarmese, Kelas X UPW 2
Setelahnya, Ayah meminta saya menemani Beliau ke mata air (baca: ulung wae) Rana Dengen. Di situ ada satu pohon. Di atas pohon tersebut, ada seekor ular meliliti pohon tersebut. Kepalanya tersembunyi di dalam lilitan tubuhnya.
Ayah mencari bambu. Di ujung bambu diikatkannya tali ijuk dan membuat semacam jerat. Bambu tersebut diarahkan ke bagian kepala ular. Kalimat yang saya dengar dari Ayah yakni: "Toto rawim ta molas", lalu pegang batang pohon tersebut. Aneh bin ajaib. Kejadian unik terjadi.
Saya menyaksikan dengan mata, kepala saya sendiri bagaimana kepala ular besar tersebut dikeluarkan dari lilitannya tadi, lalu menunjukkan wajahnya. Perlahan tapi pasti. Kepala ular tersebut digerakkan sesuai "perintah" Ayah dan masukan dalam jerat yang Ayah buat. Masih ingat to? Tali ijuk.
Ularpun Ditangkap
Setelah kepala ular masuk dalam tali ijuk "jebakan atau perangkap" Ayah, maka bambu ditarikkan ke bawah, lalu ular besar tersebut perlahan-lahan "diturunkan" dari atas pohon tersebut. Dia memang sedikit berontak tetapi Ayah sudah "mengikat lehernya dengan tali ijuk yabg kuat". Dia (baca: ular) ditangkap hidup-hidup tanpa perlawanan yang berarti.
Setelah ular itu sudah menyentuh tanah, akhirnya Ayah menghunus parang yang sangat tajam di pinggangnya, memotong leher ular tersebut. Beliau juga memotong ekor ular itu. Lalu, saya disuruh untuk menggali kubur untuk menguburkan kepala dan ekor ular tersebut secara baik-baik dan terhormat. Kata Ayah: "Racun ular itu ada di kepala dan ekornya. Makanya, kepala dan ekor harus diputuskan/dipotong dengan parang secara total".
Ayah membisikkan sesuatu di "kuburan" tersebut. Saya ingat perkataan Beliau tetapi tidak lengkap. Yang saya ingat, Ayah berkata: "Letek laku ulu agu ikom. Nggoo taung kao laku tai latang hae bijam, cama dong hau hoy. Omo cumang aku hae bijam, mata nggoo tong. Olong ente lahami ise, neka olong ente lise hami". Lalu Ayah melanjutkan: "Miu ngaing miun, hami ngaing hamin. Emi laku balonggom, amide rewos tepo toko, ko peheng de ase ka'egm, hae-wa'u, wina ko anakg. Neka bentang lahau. Neka wewa. Landing hau agu daram ga jadi tana laing pe subur uma ko woja-latun agu sanggen ata weri dahami. Depe laku telu ngkali". Lalu, Ayah melihat ke langit, lumayan lama.
Pesan untuk Saya
Pertama, Saya sungguh ingat Ayah yang hebat itu. Ayah saya, pahlawan saya. Saya menerima Ayah dalam seluruh kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia biasa. Beliau banyak juga kebaikan dan kebijaksanaan hidupnya yang patut diwariskan.
Kedua, keberanian menghadapi ular dan membunuh ular.
Ayah hebat itu serba bisa. "Berbisa" juga membunuh "ular berbisa". Berada di samping Ayah, rasanya semua ketakutan jadi hilang. Ayah berpesan tentang pentingnya kebersihan hati. "Neka tako, neka daku data, neka han rumut data: Jangan mencuri. Jangan mengambil hak orang. Jangan makan keringat orang". Itu ta pe kao aman mose. Tema ndeor le hahur naim, wua tukam: Itu yang membuat hidup aman, tenang. Tidak dijajah dan dikejar serta dihakimi oleh hati nurani".
Baca: Risna Membara Di Jalanan
Ketiga, ular yang "memperlihatkan wajah sendiri", "buka kartu sendiri", "mengungkapkan ketakutan dan hal yang rahasia dalam dirinya" itu karena dihakimi oleh nuraninya, lalu lambat laun, dia akan "dijerat (baca: tadok) yang dimasukinya sendiri". Dengan begitu, dia akan mudah ditangkap, diikat lehernya lalu tidak bergerak lagi dan pada akhirnya akan mati.
Siapa yang berani "menelanjangi" kekurangannya di depan publik dan "memproyeksikannya" kepada orang lain, maka dia menjerat dirinya sendiri dan lambat laun akan masuk jebakan sendiri.
"Siapkan lobang untuk menguburkan diri sendiri". Dengan demikian, orang lain tak perlu bekerja keras untuk menggali kuburan.
*) Penulis adalah ahli menjerat ular yang "berwajah manis" tetapi ular itu sesungguhnya dipenuhi dengan "tipu muslihat" dan "berbisa" menggigit orang juga benda atau hewan lain. Penulis sudah memahami dengan sangat baik "sifat ular".