Oleh: Sil Joni*
Perjumpaan Bunda dengan Putranya (Sebuah Sketsa Puitis) |
Setiap hari Jumat dalam masa pra-paskah (puasa), umat Katolik melaksanakan 'ritual Jalan Salib'. Upacara mengenang 'kisah penderitaan Yesus dalam memikul salib hingga tiba di Bukit Kalvari' itu, bisa digelar di Gereja dan bisa juga di 'alam terbuka'. Komunitas SMK Stella Maris memilih 'alam bebas' untuk dijadikan tempat menggelar 'ritus Jalan Salib' itu.
Baca: Solidaritas Keluarga Besar SMAS Syuradikara Ende Untuk Pengungsi Bencana Letusan Gunung Lewotobi
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendeskripsikan situasi yang terjadi pada saat upacara itu dibuat. Pun tidak berpretensi untuk membuat refleksi yang mendalam tentang 'signifikansi' dari ritual itu bagi manusia yang sedang berziarah di dunia fana ini.
Saya coba 'mengekspresikan' rasa terharu saya ketika merenungkan momen perjumpaan Bunda Maria dengan Putranya pada peristiwa 'Jalan Salib' itu. Momen itu tiba pada "Perhentian (stasi) ke-4'. Wanita mana di bumi ini yang 'begitu tegar' menyaksikan secara langsung 'adegan penyiksaan' yang menimpa buah hatinya sendiri?
Bunda Maria, prototipe wanita yang kuat dan istimewa. Dirinya 'tidak terkapar' ketika memandang Sang Putra' yang berlumur darah. Kisah 'pertemuan; itu begitu mengesahkan sehingga pantas untuk dilukiskan secara elegan.
Baca: Dari "Guru Medioker" ke 'Guru Hebat' (Sebuah Autokritik)
Suara itu mengikuti jejak langkahnya. "Sebilah pedang akan menembus jiwamu." Kepingan adegan perjumpaan di simpang jalan menuju Golgota, adalah isyarat. Nubuat itu telah nyata.
Lihatlah, sebuah duka nan pahit, bagai anak panah menancap jiwa kala Bunda Maria bersua dengan Putranya yang penuh luka, bilur-bilur dan darah yang berlumuran di sekujur tubuh-Nya.
Mata bunda bersimbah darah. Hatinya tersobek oleh luka yang dalam dan mengiris. Ia melewati malam tanpa terlelap. Derita ini terlampau berat menderanya.
Ibu mana yang tak teriris jiwanya, melihat sang Putra dihina secara keji? Wanita mana yang tega membiarkan anaknya dibantai secara sadis? Kali ini, hatinya tak sanggup menyimpan semua perkara ini dalam hati saja.
Dengan tertatih-tatih, sang Bunda menemani langkah Putranya. Jejak derita Putra tercium dari darah yang tercecer sepanjang jalan menuju bukit penyaliban. Semesta dibasahi dengan darah.
Momen paling mengharukan itu pun datang jua. Bunda yang paling berduka berjumpa dengan Putranya yang paling sengsara.
Jutaan adegan luka tampak di matanya. Onggokan paku, tali, duri, tombak, algojo yang bengis dan perkakas maut lainnya seolah menyambutnya dengan dingin. Betapa getir hatinya.
Seorang Pemuda, Putranya sendiri berlumuran darah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pemuda itu seakan-akan kena tulah. Ia tak beda dengan penderita kusta. Semarak-Nya tak tampak lagi dan tak masuk hitungan manusia terhormat.
Dengan cinta yang tersisa, bunda berusaha memandangnya. Namun, hatinya tak sanggup menahan pedih. Luka sang Putra seluas semesta raya. Sebuah situasi yang menyayat kalbu.
Baca: Romo Ignasius Azavedo Viares, Kepala SMK Stella Maris yang Baru
Derita bunda terbaca Sang Putra. Yesus menyeka "gumpalan darah" di mata bunda. Dan, lihatlah, mereka saling memandang dalam balutan duka yang tak terkatakan.
Naluri keibuan sang Bunda angkat bicara. Ia berhasrat mendekap dan mebelai Putranya dengan mesrah. Namun, para prajurit menggiringnya ke tepian. Ia hanya pasrah dalam doa dan asa. Selamat jalan Putraku hingga kita tiba di bukit bahagia abadi nanti, desisnya pilu. Salam.
*Penulis adalah staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.