Oleh: Stef Dampur*)
Melanjutkan Tradisi Baik "Rabu Trewa" Dan Membiasakan Lamentasi Tri hari Suci di Paroki Hokeng (ilustrasi:google) |
Prolog
Sebagai "pendatang baru" di Lembah Hokeng khususnya, dan Keuskupan Larantuka pada umumnya, saya menemukan "kekayaan ritus dan penghayatan iman umat Katolik". Dari dulu saya mendengarkan kisah tentang "ritus devosional" Prosesi Semana Santa di Larantuka. Baru-baru ini, saya mendengarkan lagi ritus dan tradisi "Rabu Trewa"
Baca: Meraih Mahkota Surgawi
Hasil Googling dan Penelusuran Lainnya
Saat saya googling, melakukan pencarian informasi via google, diperoleh informasi ini: "Tadisi Rabu Trewa merupakan tradisi mengenang Yesus ditangkap, diarak, dan kemudian disalibkan. Ada pemandangan yang unik di sisi bahu kanan jalan. Beberapa peziarah dari luar daerah turut menonton tradisi Rabu Trewa, yang dimulai dengan bunyi-bunyian sebagai tanda memasuki Tri Hari Suci".
Bagi saya, informasi ini sudah cukup meyakinkan, bahwasanya "google" sudah mempunyai ruang khusus untuk menyimpan data tentang "Tradisi Rabu Trewa"-nya Orang Katolik di Flores Timur ini. Dengan demikian, "misionaris baru" seperti saya ini terbantu untuk mendapatkan informasi terkait materi tulisan.
Kata Pastor Paroki Hokeng dan Ketua Pelaksana DPP Paroki Hokeng
Pada saat mengikuti "Ibadat Rabu Trewa" tahun 2024 di Pusat Paroki Hokeng pada hari Rabu, 27 Maret 2024, pkl. 17.00 hingga 17.48 WITA, saya semakin memahami makna Rabu Trewa.
Hal ini berdasarkan penjelasan Pater Maximus Seno, SVD dalam homili singkatnya saat ibadat:
"Rabu Trewa adalah momen bagi kita untuk merenungkan misteri penderitaan Tuhan Yesus. Mari kita meneladani Simon dari Kirene yang menolong memikul salib Tuhan. Tuhan berjalan di depan menunjukkan teladan pengurbanan dan kita bersama Simon dari Kirene mengikuti teladan Tuhan untuk memikul salib kehidupan kita masing-masing".
Lalu, saya secara rileks menanyakan arti "Trewa" dalam bahasa Lamaholot.
Lalu, rekan sekerja kami di Paroki Hokeng yang adalah Ketua Pelaksana DPP Paroki yakni Bapak Gaspar Lakebelek Tukan memberikan penjelasan:
"Pater, dalam bahasa Lamaholot, trewa berarti menghabiskan".
Lebih lanjut, Beliau mencontohkan: "Trewa nenas, artinya menghabiskan nenas di kebun tanpa sepengetahuan pemiliknya. Kebiasaan dulu kami masih anak-anak, malam ini kami pergi "curi" barang milik orang lain, seperti ayam, kacang tanah, tebu, dll".
Baca: Kumpulan Renungan Romo Agustinus Rame Pr Terbaru
Pemaknaan Sederhana secara Harafiah dan Teologis
Istilah "Trewa" dalam tradisi dan budaya Lamaholot (budaya yang sangat dominan di Kabupeten Flores Timur dan Lembata) artinya "menghabiskan", bisa kita artikan secara harafiah dan teologis.
Secara harafiah, kita perlu "menghabiskan makanan dan minuman" yang sudah "dipersiapkan" oleh tuan rumah supaya tidak rusak atau membusuk. Itu juga bagian dari bentuk "penghargaan kita" kepada mereka yang menyuguhkannya kepada kita.
Secara teologis, melalui tradisi trewa, kita memahami "Pengurbanan diri Kristus sampai sehabis- habisnya" di kayu salib. Semua bentuk Pengurbanan diri Kristus yang sangat total tersebut bukan untuk diri-Nya sendiri tetapi terutama demi mengikuti dan taat kepada kehendak Bapa-Nya dengan tujuan untuk menyelamatkan semua orang yang percaya kepada-Nya.
Jadinya, bagi kita orang Katolik, Salib Kristus adalah tanda keselamatan! Kita ingat simbol: IHS; In Hoc Signo artinya dalam tanda ini (tanda salib), kamu menang, kamu diselamatkan.
Jalannya Ibadat Rabu Trewa Tahun 2024 di Paroki Hokeng
Ibadat Rabu Trewa di Paroki Hokeng dilaksanakan pada hari Rabu sore (pkl. 17.00-17.48 WITA). Ibadat tersebut dipimpin oleh Ibu-ibu dari Santa Anna Paroki Hokeng. Petugas solis bersuara indah datang dari Kelompok Kategorial Confreria Paroki Hokeng. Koor adalah campuran Kelompok Kategorial Santa Anna dan Confreria. Pembaca Injil dan Pengkhotbah adalah Pastor Paroki.
Jalannya Ibadat Rabu Trewa
Ibadat Rabu Trewa dijalankan di seluruh Stasi dalam Paroki Hokeng. Ibadat didahului dengan lagu pembuka, ratapan-ratapan menyayat jiwa dibawakan solis lelaki, jawaban koor hingga antifon khusus. Kemudian dilanjutkan dengan pelbagai doa umat kontekstual, ditutup dengan Bapa Kami, lalu doa penutup. Khusus di pusat Paroki, ada berkat Imam (karena ada imamnya), dilanjutkan dengan lagu penutup dan perutusan.
Keterlibatan Umat
Kami sendiri menyaksikan bahwa umat sangat banyak terlibat dalam ibadat "Rabu Trewa" ini. Hampir tiga per empat ruangan Gereja Paroki Hokeng diisi oleh umat. Dengan keterlibatan yang demikian tinggi meyakinkan saya bahwa tradisi ini baik dan mengumat. Oleh karena itu perlu dilanjutkan dan diwariskan secara turun-temurun.
Lamentasi Tri Hari Suci di Hokeng Dimulai Tahun 2024
Setelah menyaksikan dan mengalami animo umat Katolik yang sangat tinggi mengikuti "Ritus Rabu Trewa", maka meyakinkan kami juga untuk "membawa kebiasaan baik dari Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero dan Paroki lainnya" yang sudah terbiasa dengan ibadat Lamentasi. Oleh karena itu, melalui Sidang Dewan Pleno, Dewan Harian dan Dewan Inti serta sidang Pleno Paroki Hokeng (berpuncak pada Minggu, 17 Maret 2024 lalu), ditegaskan juga tentang pentingnya Lamentasi pada Tri Hari Suci di Paroki Hokeng. Jadwal dan para petugas serta teks ibadat sudah dibagikan. Itu artinya tinggal pelaksanaan saja.
Jika ibadat Rabu Trewa dimulai pada pkl. 17.00 WITA, maka Lamentasi pada Tri Hari Suci dilaksanakan pada jam 6 pagi hari. Hal ini sudah diumumkan kepada segenap umat.
Epilog; Hidupkan Harapan
Ada pepatah dalam bahasa Latin: "Dum spiro, spero" artinya, "Selagi aku bernapas, aku berharap". Implementasinya, harapan itu ada selagi manusia masih hidup atau bernapas. Oleh karena itu, jangan pernah mematikan harapan. Saya berharap, tradisi baik "Rabu Trewa" dan "Lamentasi Tri Hari Suci" dan Devosi serta ritus Katolik yang sehat lainnya, yang meningkatkan mutu iman umat hendaknya kita dorong terus untuk dilestarikan.
*) Penulis adalah Pelayan Tertahbis di Paroki SAMARASA (SAnta MAria RAtu Semesta Alam) Hokeng-Keuskupan Larantuka.