Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Anak "Momang" Vs 'Momang' Anak (Kandidat Bupati dan Isu Anak)

Suara BulirBERNAS
Saturday, August 24, 2024 | 10:25 WIB Last Updated 2024-08-24T03:36:26Z

Oleh: Sil Joni*


Jika kita 'melego' sedikit perhatian ke arah baliho yang terpancang di ruang publik strategis, kemungkinan baliho yang dilengkapi gambar dan tulisan 'Anak Momang', akan masuk dalam alam kesadaran kita. Baliho yang didesain dengan sangat elegan itu, tentu saja secara implisit bisa dilihat sebagai 'undangan etis' untuk mencintai figur 'anak momang' itu.    Saat ini, sang Anak Momang tengah berjuang untuk menjadi 'ame momang data do one tana Mabar (bapak kesayangan publik di Mabar alias bupati). Ada semacam transformasi dari Anak Momang ke 'pemimpin politik'. Anak Momang yang sebelumnya lebih banyak bermain di ranah domestik, kini siap tampil untuk menjadi 'penguasa domain politik'.
Foto ist. 




Jika kita 'melego' sedikit perhatian ke arah baliho yang terpancang di ruang publik strategis, kemungkinan baliho yang dilengkapi gambar dan tulisan 'Anak Momang', akan masuk dalam alam kesadaran kita. Baliho yang didesain dengan sangat elegan itu, tentu saja secara implisit bisa dilihat sebagai 'undangan etis' untuk mencintai figur 'anak momang' itu.


Baca: Pentingnya Solidaritas dan Saling Menolong di Semesta Raya


Saat ini, sang Anak Momang tengah berjuang untuk menjadi 'ame momang data do one tana Mabar (bapak kesayangan publik di Mabar alias bupati). Ada semacam transformasi dari Anak Momang ke 'pemimpin politik'. Anak Momang yang sebelumnya lebih banyak bermain di ranah domestik, kini siap tampil untuk menjadi 'penguasa domain politik'.


Sebetulnya, status 'anak momang' semacam itu, bukan monopoli si pemilik baliho. Semua figur yang punya kehendak baik (good will) untuk menahkodai biduk Mabar, tentu merupakan 'anak momang kita semua', dan secara khusus bagi keluarga dekat (rapat) dari segi biologis. 


Atas dasar itu, sebutan 'anak momang' dalam tulisan ini, tidak hanya tertuju pada sosok dalam baliho itu, tetapi juga untuk mereka semua yang maju dalam kontestasi Pilkada Mabar edisi 27 November 2024. 


Baca: Suka-Duka Menyusuri Jalan Sunyi Literasi (Percikan Obrolan Ringan Bersama 'Peminat Literasi', Viktor Damianus Fidelis)


Melalui esai ini, saya coba membeberkan hal lain yang lebih esensial dari sekadar julukan anak momang.  Kita mesti bergerak lebih dalam lagi. Apa yang semestinya dipikirkan oleh para 'anak momang' dalam mengatasi pelbagai persoalan yang dihadapi anak di wilayah ini? Kebijakan politik apa yang paling pas untuk menjawab pelbagai kebutuhan anak?


Momang Anak


Pemimpin politik seperti bupati dipilih, bukan untuk menjadi 'the big boss', tetapi 'menjadi abdi (pelayan) yang siap mendampingi dan menolong publik keluar dari kubangan derita. Mereka diberi mandat politis untuk mengurus perbaikan tingkat kemaslahatan publik par excellence.


Anak adalah komponen inti dari 'publik'. Sayangnya, desain dan implementasi kebijakan politik, relatif kurang menyentuh masalah anak. Kita jarang mendengar bahwa 'isu anak' menjadi prioritas untuk segera direspons oleh para pemimpin. Rasanya, anak merupakan kelompok yang relatif diabaikan atau mendapat perlakuan diskriminatif dari para pengambil kebijakan publik.


Kebanyakan program dan kebijakan yang ditelurkan dan dieksekusi pemerintah selama ini, cenderung berorientasi pada kebutuhan orang dewasa. Kelompok dewasa, termasuk orang muda, lebih banyak mengecap hasil dari intervensi dan inovasi politik.


Jika sebutan 'anak momang' itu, ditempelkan ke para pemimpin politik, maka dia (si pemimpin itu) hanya menjadi 'anak momang' bagi kelompok dewasa.  Predikat itu tidak berlaku untuk segmen yang lain, yaitu anak.


Hemat saya, peduli terhadap pemenuhan hak anak, mesti menjadi kebajikan etis bagi 'para anak momang (baca: calon bupati). Dengan perkataan lain, mereka mesti mengekspresikan rasa cinta terhadap anak (momang anak) melalui serangkaian gagasan dan keputusan politik yang berpihak pada anak.


Dengan demikian, sosok calon atau pemimpin politik baru dijuluki 'anak momang' jika dan hanya jika dirinya prihatin, peduli, peka dan ambil langkah politik konkret dalam menjawab pelbagai persolan yang menimpa anak. 


Pada musim kontestasi Pilkada seperti sekarang ini, para anak momang, mesti berkompetisi merumuskan ide brilian bagaimana strategi mewujudkan politik yang selaras dengan hak dan kebutuhan anak.


Baca: Narasi Kecil Kegiatan Arisan Congkar Maumere dan Kelompok Tani Kolisia-Magepanda Maumere


Bukan tidak mungkin, publik akan menaruh rasa momang (simpati) kepada para kandidat itu, ketika membaca, mendengar, dan mencerna pelbagai ide bernas berkaitan dengan komitmen mereka terhadap pemenuhan hak anak di Manar. Tanpa menulis anak momang di baliho pun, hemat saya banyak pihak yang berdecak kagum jika politik gagasan bermutu dipasarkan oleh para calon tersebut.


Para kandidat yang bertarung dalam Pilkada merupakan kumpulan sosok yang siap melayani. Mereka hadir, bukan untuk dilayani tetapi memberi diri untuk perbaikan kesejahteraan publik, termasuk anak. Anak momang, menurut saya punya nuansa 'dilayani, dicintai'. Predikat itu baru punya arti jika diikuti dengan tindakan pelayanan.




*Penulis adalah warga jelata. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Anak "Momang" Vs 'Momang' Anak (Kandidat Bupati dan Isu Anak)

Trending Now

Iklan