Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Politik Lokal dari Arah 'Barat Daya'

Suara BulirBERNAS
Saturday, August 17, 2024 | 17:27 WIB Last Updated 2024-08-17T10:44:53Z

Oleh: Sil Joni*


Bernardus Barat Daya. Sebuah nama yang 'tidak asing' lagi, minimal untuk publik Manggarai Barat (Mabar). Menulis dan atau berbincang soal 'sejarah pembentukan dan dinamika politik Kab. Mabar', tanpa menyebut Barat Daya, rasanya sebuah dusta politik yang memalukan. Barat Daya adalah anak jaman, di mana Mabar sangat 'membutuhkan' sumbangsihnya dalam menancapkan tonggak dan fondasi yang kokoh bagi perjalanan politik Kabupaten di ujung Barat Nusa Bunga ini.
Sil Joni (Foto ist.)




Bernardus Barat Daya. Sebuah nama yang 'tidak asing' lagi, minimal untuk publik Manggarai Barat (Mabar). Menulis dan atau berbincang soal 'sejarah pembentukan dan dinamika politik Kab. Mabar', tanpa menyebut Barat Daya, rasanya sebuah dusta politik yang memalukan. Barat Daya adalah anak jaman, di mana Mabar sangat 'membutuhkan' sumbangsihnya dalam menancapkan tonggak dan fondasi yang kokoh bagi perjalanan politik Kabupaten di ujung Barat Nusa Bunga ini.


Jauh sebelum Mabar 'lahir', Barat Daya sudah memikul cita-cita luhur, menjadi 'pemimpin politik top' di kabupaten yang baru itu nanti. Karena itu, dirinya bersama para eksponen pejuang, begitu serius dalam membidani 'tampilnya Kabupaten baru' itu di pentas politik lokal. Sejarah mencatat bahwa keringat dan air mata mereka tidak menetes sia-sia. Pada tahun 2003, melalui proses yang berdarah-darah, bayi Mabar itu lahir dengan selamat.


Baca: Anggota DPRD Terpilih dari fraksi PKB periode 2024-2029, Pergelaran Caci di Pusat Kecamatan Satarmese Barat Kedepankan Budaya Asli Todo


Impian untuk menjadi 'bupati Mabar' itu, coba diperjuangkan untuk pertama kalinya pada kontestasi Pilkada Mabar edisi 2010 yang lulu. Kala itu, Barat Daya berpasangan dengan Yosep Ardis. Duet ini, dikenal dengan sebutan 'Paket YES'. Sayang, dewi nasib belum berpihak pada mereka. Tetapi, kekalahan itu tidak membuat 'cita-cita' menjadi bupati Mabar itu, 'raib' dari kalbunya.


Buktinya, dalam Pilkada edisi 2020 kemarin, Barat Daya tetap ikut dalam proses pencalonan sebagai bupati di beberapa partai politik. Namun, dirinya tak beruntung dalam mendapat restu politik dari sejumlah parpol sehingga beliau secara ikhlas menerima kenyataan itu. Meski begitu, asa untuk menjadi bupati tetap 'membara' dalam dadanya.


Pilkada Mabar edisi 2024, dilihat sebagai 'kesempatan emas' untuk meraih mimpi itu. Dari 'gosip politik' yang beredar di beberapa kanal media sosial, Barat Daya bakal berpasangan dengan Marselinus Jeramus, seorang politisi senior dari Partai Amanat Nasional yang saat ini masih aktif sebagai 'wakil ketua DPRD Mabar'. 


Nama keren dari Pasangan Bernadus Barat-Marselinus Jeramun ini adalah 'BERSAMA' yang tentu saja sebagai 'akronim' dari nama keduanya. Menurut kabar, duet ini kemungkinan diusung oleh tiga Parpol, yaitu PAN, Hanura, dan Perindo. Jika informasi ini benar, maka Pilkada kali ini bakal diikuti oleh tiga pasangan calon (Paslon) yaitu, Edi-Weng, Mario-Rikar dan Bernadus-Marsel.


Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Barat Daya bukan 'pendatang baru (new comer) dalam gelanggang Pilkada Mabar. Keinginan untuk menjadi Bupati Mabar bukan baru muncul kemarin sore. Ikut dalam kontestasi untuk 'jadi bupati' adalah 'cita-cita lama' jauh sebelum Mabar terbentuk. Dirinya 'tidak didorong atau ditopang' oleh kaum kapitalis atau para politisi yang punya nama besar di tingkat nasional ketika terjun dalam pentas kontestasi politik.


Baca: Peringati HUT Pramuka ke-63, Bupati Manggarai Soroti Tiga Hal Penting, Salah Satunya Soal KML


Tidak heran jika semboyan dari 'Paslon Bersama' ini adalah "Kami tak punya isi tas, kami hanya punya isi kepala". Mereka tidak terlalu mengandalkan 'kuasa uang' dalam pertarungan ini. Modal yang ada pada mereka adalah 'politik gagasan (isi kepala)'. Vitamin politik dalam bentuk 'tawaran ide' dalam menata Mabar ke arah yang lebih baik, bakal didiseminasikan secara reguler dan kreatif dalam ruang publik.


Sangat menarik untuk ditunggu seperti pergerakan angin politik dari arah Barat Daya  bersama rekan duetnya Marsel Jeramun. Apakah kehadiran 'Paslon Bersama' bakal mengguncang panggung politik lokal yang selama ini menjadi 'area bermain' dari Paslon petahana (Edi-Weng) dan dibayang-bayangi Paslon Mario_Rikar? Hanya waktu yang bisa menjawab.


Sejatinya 'daya tendang politik' dari Barat Daya-Marsel, tak bisa diremehkan begitu saja. Kita tahu, Dus Barat, demikiaan sapaan akrabnya, dikenal luas sebagai salah satu intelektual-aktivis kenamaan yang pernah lahir di Mabar. Darah aktivis mengalir deras dalam tubuhnya. Menjadi aktivis baginya, bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi sebuah panggilan hidup yang dimanifestasikan secara total, militan, dan konsisten. Aktivis telah dipilihnya sebagai 'jalan pengabdian' untuk perbaikan kualitas bonum commune.


Berasal dari latar belakang keluarga sederhana, Dus tumbuh dan bergerak melampaui semua keterbatasan itu. Karier akademiknya melejit hingga meraih titel tertinggi: Doktor. Disertasi doktoralnya dalam bidang hukum, berhasil dipertankan di depan sidang senat terbuka Universitas Brobudur Jakarta, dengan predikat 'sangat memuaskan'. Luar biasa. Atas semua capaian itu, kita patut mengucapkan apresiasi dan profisiat untuk Dus, eks Ketua KPUD Mabar ini.


Dr. Barat Daya juga sudah lama dikenal sebagai seorang jurnalis dan penulis yang sangat piawai dan produktif. Tulisannya tersebar luas di beberapa media nasional dan lokal. Selain itu, dalam satu dekade terakhir, belasan buku lahir dari otaknya. Sebuah debut dan prestasi akademik yang sulit ditandingi oleh intelektual-akademisi lain di Mabar ini.


Jika dalam lapangan akademik, kiprah Dr. Barat Daya layak dicatat dengan dawat kencana, tetapi dalam domain politik kekuasaan, namanya 'kurang berkilau'. Bukan karena kapasitas dan kapabilitas politik yang 'jauh di bawah standar', tetapi setting budaya politik Mabar 'belum sanggup' menerima ide dan inovasi brilian dari mantan anggota DPRD Mabar itu. Mabar sepertinya belum menjadi 'locus politis' yang ideal bagi Barat untuk mengaplikasikan ilmu politik yang digelutinya bertahun-tahun. Kondisi tak ideal itu dinarasikan dengan sangat bagus dalam sebuah bukunya dengan judul: "KICAUAN TAK TERDENGAR (Memoar Seorang Aktivis).


Selama menjadi anggota DPRD Mabar (2009-2014), setidaknya dari pemberitaan media lokal, idealisme seorang Dus, sulit dibumikan. Gagasan politisnya kerap 'terbentur' tembok arogansi kekuasaan dalam lembaga itu. Ide-ide bernas itu 'dikurung' dalam jeruji prasangka kekuasaan yang picik dan pongah. Teriakan kritisnya tak ditanggapi secara arif dan kreatif, tetapi direspons dengan sinisme yang menjijikan.


Barat Daya juga pernah tercatat sebagai 'satu-satunya' tokoh muda yang ikut berkontestasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode 2010-2015. Dengan optimis, Dus menerima pinangan politik dari Yosef Ardis. Pasangan itu diberi nama Paket 'YES', akronim dari nama mereka berdua. Sayang, mereka 'gagal total' dalam kompetisi politik itu. Mereka tak mendapat legitimasi politis signifikan untuk menahkodai Kabupaten Pariwisata ini selama lima tahun.


Ketidakberpihakan 'dewi fortuna politik', berlanjut dalam pemilihan legislatif periode 2014-2019. Perolehan suara Barat Daya sangat melorot. Tentu saja, dengan akumulasi suara yang tak signifikan itu, kursi legislatif tak bisa didudukinya lagi. Barat Daya melangkah ke luar parlemen dengan 'idealisme' terpenjara. Tetapi, ia dengan kepala tegak menerima fakta kekalahan itu.


'Kalah' dalam kompetisi politik tak berarti 'riwayat politis' seorang Dus, berakhir. Kekalahan itu justru 'melecutkan spiritnya' untuk semakin mantap dalam 'dunia gerakan extra parlementer'. Barat Daya tetap konsisten tampil sebagai seorang aktivis berkelas. Aksi advokasi dan demonstrasi menentang kebijakan rezim yang tidak pro-publik, terus digalakan. Barat Daya tak kekurangan daya kreatif dan inovatif dalam 'membela' kelompok yang tak bersuara (the voiceless).


Opsi cerdas lain yang patut dipuji adalah berjuang melalui 'jalur kebudayaan' (edukatif). Barat Daya bukan tipe aktivis 'jalanan' yang sekadar 'berteriak', mencari sensasi murahan, tetapi aktivis dengan pola kerja saintifik yang berpijak pada data dan argumentasi yang rasional. Konsep dan metodologi gerakan dielaborasi secara akademis sehingga setiap aksi protes dihelat di atas basis kebenaran faktis dan logis.


Barat Daya, hemat saya adalah seorang 'aktivis pembelajar'. Ia tak pernah lelah dan jedah untuk menambah khazanah intelektualitas dengan 'melibatkan diri' dalam aneka forum diskursus publik. Pilihannya untuk memperdalam ilmu hukum hingga ke tingkat doktoral, hemat saya salah satunya didasari oleh habitus pembelajar yang sudah berurat-berakar dalam tubuhnya.


Baca: Kasus Salah Tangkap Pada Kasus Vina: Refleksi atas Kerapuhan Sistem Peradilan di Indonesia


Gelar pretisius dalam jagat akademik sudah direngkuh. 'Utang akademik' seorang Barat Daya, sudah ditunaikan secara paripurna. Tetapi, tidak demikian halnya dengan 'utang politik' (kekuasaan). Barat Daya mesti mengejawantahkan ilmunya untuk 'perbaikan' tatanan sosial-politik di Mabar. Kerja politik praktisnya belum seberapa.


Karena itu, dengan stok pengalaman dan debut akademik yang menawan, kita berharap Barat Daya terus  berbakti untuk kebaikan tanah Mabar, Kabupaten yang telah 'melambungkan namanya' hingga ke tingkat nasional. Barat Daya, saya kira kian 'berdaya' pasca-menggondol gelar doktor. Namanya pasti lebih 'mengilat' lagi, jika ilmu segudang itu dipersembahkan untuk sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan publik di Mabar.


Karena itu, kita sangat apresiasi atas keputusannya untuk 'terjun kembali' ke panggung politik. Hampir semua syarat untuk menjadi 'kreator perubahan' melalui jalur politik praktis itu, telah dikantonginya. Kini, ia harus berani melawan musuh utamanya, yaitu dirinya sendiri. Keberhasilan sebuah perjuangan sangat bergantung pada metode 'pengelolaan dan pemasaran diri' yang efektif.


Seabrek catatan prestasi tadi, baik dalam ranah politik maupun akademik, tentu menjadi 'kapital sosial-politik' untuk merebut hati publik Mabar. Optimisme itu, rasanya semakin melambung, ketika berkolaborasi dengan Marsel Jeramun. Bicara soal trik dan strategi untuk menjadi 'kampium' kontestasi, saya kira, Dus dan Marsel jagonya. 


Marsel, merupakan satu dari sedikit anggota DPRD yang terkenal vokal dan kritis. Keberaniannya dalam mengkritisi kebijakan rezim yang berkuasa, tak perlu diragukan lagi. Barang kali 'sisi kritisisme' yang diperlihatkan secara konsisten itulah, media menjulukinya sebagai 'singa parlemen'.


Kepedulian dan keperpihakan terhadap 'warga jelata' begitu terasa baik dalam konsep maupun dalam upaya politik konkret. Tegasnya, baik Dus maupun Marsel merupakan 'politisi' yang lahir dan besar bersama derita warga Mabar. 


Oleh sebab itu, saya kira 'keberadan Paslon ini (jika isu ini jadi kenyataan), tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka, hemat saya bisa menjadi 'ancaman serius' bagi Paslon incumbent dalam mempertahankan kursi kekuasaan itu. Sekali lagi, menarik ditunggu seperti kekuataan 'angin politik' yang bertiup dari 'arah Barat Daya' ini. Salam demokrasi.


*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Politik Lokal dari Arah 'Barat Daya'

Trending Now

Iklan