Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pilkada Mabar, Lanjutkan Gerakan Perubahan!

Suara BulirBERNAS
Thursday, September 5, 2024 | 13:29 WIB Last Updated 2024-09-05T06:53:01Z

Oleh: Sil Joni*


pilkada-mabar-lanjutkan-gerakan-perubahan
Foto penulis, Silvester Joni



Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pada taraf tertentu, dimaknai sebagai 'instrumen' memanifestasikan idealisme perubahan kondisi kemaslahatan publik. Dalam dan melalui Pilkada, harapan untuk melanjutkan cita-cita perubahan, berkobar dalam benak.


Baca: Seusai Pelantikan, Anggota DPRD Periode 2024-2029 Fraksi Nasdem Gelar Acara Syukuran Bersama


Rasanya, setiap Pasangan Calon (Paslon) yang berlaga dalam arena Pilkada memiliki motivasi yang kuat dalam menggapai visi perubahan tersebut. Kode perubahan ini terbaca melalui aneka kontrak politik (visi, misi dan program) yang ditawarkan ke publik. Hampir pasti tidak ada Paslon yang  ingin Mabar berjalan di tempat atau terperangkap dalam kondisi stagnasi.


Karena itu, kita tidak perlu mempertentangkan antara diksi 'lanjutkan' dan 'perubahan'. Publik sepertinya terbelah dalam dua kategori itu. Umumnya, kelompok yang pro dengan 'semboyan lanjutkan' mengacu pada pendukung Paslon petahana (Edi-Weng/EW). Sebagai anti-tesisnya, kubu lawan (Mario-Rikar/MR) mengusung tagline 'perubahan'. Duel 'lanjutkan dan perubahan' berlangsung sengit dan cenderung kasar dalam pelbagai narasi yang berseliweran di ruang publik digital.


Padahal, arah yang hendak dituju dari dua term itu sama, yaitu perbaikan kondisi kesejahteraan publik di Mabar. Dengan motto 'lanjutkan', Edi-Weng bertekad meneruskan gerakan perubahan yang sudah digagas dan dieksekusi oleh Paslon ini dalam kapasitas mereka sebagai bupati-wakil bupati. 


Tentu, proyek politik yang hendak dilanjutkan itu, telah terbukti membawa dampak positif bagi perubahan wajah Kabupaten ini. Sedangkan kebijakan publik yang terbukti kontraproduktif dan mubazir, mesti ditinggalkan. Koreksi dan perbaikan terhadap kesalahan masa lalu, menjadi sebuah keharusan.


Baca: Yopi Widyanti dan 'Politik Kepedulian Pada Perempuan'


Pada sisi yang lain, melalui yel 'perubahan', para simpatisan MR menilai bahwa rezim Edi-Weng relatif kurang sukses dalam 'membumikan gerakan perubahan'. Untuk itu, teriakan 'perubahan' menjadi sebuah hal yang amat urgen. Misi perubahan itu tidak bisa dititipkan lagi kepada Paslon yang kinerjanya dianggap kurang memuaskan. Mendukung Paslon alternatif menjadi sebuah opsi yang realistis. 


Saya tidak ingin mempertajam polemik itu. Hemat saya, dikotomi semacam itu, selain tidak produktif, juga terkesan sekadar mencari sensasi belaka. Tulisan ini berikhtiar melampaui tendensi keterbelahan semacam itu. Sebuah 'sintesis kreatif' coba disodorkan untuk 'mendamaikan' dua blok yang bertengkar tersebut.


Siapa pun yang terpilih, entah EW atau MR, pasti punya tekad untuk mempertahankan, melanjutkan dan bahkan 'meningkatkan' kualitas dari gerakan perubahan yang telah dirintis oleh para pemimpin sebelumnya. Saya tidak yakin bahwa rejim sebelumnya, termasuk EW 'tidak berbuat apa-apa' untuk mewujudkan cita-cita perubahan itu. Paslon yang terpilih nanti, rasanya tidak mungkin mulai dari 'titik nol'.


Publik Mabar, dengan demikian, sedang 'membidik' sosok pemimpin yang punya komitmen politik yang kuat untuk meneruskan, mempertahankan, meningkatkan dan mengakselerasi pemanifestasian realitas perubahan di Kabupaten ini. "Perubahan" mesti menjadi 'gerakan politis' yang dimotori oleh Paslon terpilih nanti. Merekalah yang akan menjadi 'dirigen hebat' agar mimpi perubahan itu bukan sekadar khayalan di siang bolong.


Lalu, Paslon manakah yang 'paling siap' untuk tampil sebagai 'playmaker' gerakan perubahan itu? Publik pemilih tentu mempunyai kriteria tersendiri dalam menentukan preferensi politik. Yang pasti kita membutuhkan sosok yang cakap baik dari sisi intelektual, teknis-politis, dan moral (integritas). Paslon  yang mendapatkan skor kualifikasi politis yang bagus, berpeluang untuk menjadi kampium kontestasi. 


Baca: Pendaftaran, Deklarasi dan Pengerahan Massa


Tetapi, barangkali kriteria dan opini semacam itu terkesan muluk dan penuh dengan nutrisi idealisme. Bukan tidak mungkin, demokrasi elektoral 'memungkinkan' politisi medioker menjadi pemimpin politik. Kehadiran 'faktor x' dalam kontestasi politik bisa sangat berpengaruh terhadap hasil akhir.


*Penulis adalah warga jelata. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pilkada Mabar, Lanjutkan Gerakan Perubahan!

Trending Now

Iklan