Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Yopi Widyanti dan 'Politik Kepedulian Pada Perempuan'

Suara BulirBERNAS
Monday, September 2, 2024 | 11:16 WIB Last Updated 2024-09-02T04:39:15Z

Oleh: Sil Joni*


Yopi Widyanti dan 'Politik Kepedulian Pada Perempuan'

Yopi Widyanti dan 'Politik Kepedulian Pada Perempuan' (foto ist.)





Setelah 21 tahun berlalu, ruang parlemen lokal (lembaga DPRD Mabar) untuk pertama kalinya 'dipimpin' oleh politisi perempuan. Jika selama ini, pemegang palu DPR(D) itu selalu dari kaum Adam, maka untuk periode ini, dominasi politisi laki-laki mulai jebol. Ibu Yopi Widyanti (YW) menjadi 'perempuan' pertama yang 'meruntuhkan' kultur patriarki dalam domain politik lokal itu


Baca: Dagang 'Stempel Partai'


Karier politik YW berjalan mulus. Setelah mendapat kepercayaan untuk menjadi ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai Nasdem Manggarai Barat (Mabar), kali ini, untuk sementara dirinya 'terpilih' sebagai 'orang pertama' (primus interpares) dari 30 makhluk politik yang berkarya di gedung Wakil Rakyat itu.


Layak Diapresiasi


Secara faktual, predikat sebagai penjebol tembok patriarki dalam ranah legislatif Mabar, sulit dibantah. Sejarah politik lokal kita mencatat bahwa pemegang jabatan 'Ketua DPRD" sebelumnya, selalu laki-laki. YW menjadi sosok pembeda dalam panggung politik Mabar yang kerap dimonopoli oleh para lelaki itu.


Terlepas dari motif politik individual, keuletan YW dalam pertarungan menempati kursi dewan dan menjadi pimpinan, patut diacungi jempol. Hanya sedikit perempuan Mabar yang memiliki "ambisi mulia" merenda domain politik lokal yang masih karut-marut melalui jalur legislatif.


Segudang persoalan dan problematika membelit wilayah ini. Proyek kesejahteraan tidak berjalan mulus. Aroma kemiskinan, gizi buruk, penyakitan, kualitas pendidikan yang rendah, pejabat publik yang koruptif dan realitas keterisolasian warga begitu menyengat di kabupaten yang menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan (leading sector) ini.


Kemunculan YW dalam pentas politik lokal meniupkan sejumput asa akan perbaikan kondisi murung tadi. Hemat penulis, dengan reputasi dan jejak karier politik yang mengkilat dan ditunjang dengan integritas diri yang relatif baik, tak berlebihan jika YW bakal menjadi "mesias" bagi tanah Mabar. 


Baca: Pendaftaran, Deklarasi dan Pengerahan Massa


Betapa tidak, YW mempunyai kapabilitas mumpuni untuk membawa api perubahan. Palu DPRD yang disandangnya, tentu bukan untuk 'memukul rakyat', tetapi menghalau setiap batu penghalang bagi terwujudnya tingkat kesejahteraan publik yang lebih baik di Mabar. Wilayah ini membutuhkan sentuhan kefemininan dan kepedulian seorang ibu untuk keluar dari pelbagai kemelut sosial politik yang menderanya.


Secara khusus, persoalan marjinalisasi dan diskriminasi perempuan dalam peta pembangunan mendapat porsi perhatian ekstra. Ibu MG tentu tahu dan bahkan sudah merasakan derita kaum perempuan di Kabupaten Mabar.


Oleh karena itu, julukan penjebol tembok budaya patriarki baru bermakna jika dirinya mampu  mengartikulasikan visi politis peningkatan partisipasi perempuan dalam membangun "rumah politik" Mabar yang bermutu. Kita tahu ruang utama dari rumah politik yang 'diterobos' YW itu, dikerumuni para politisi hipokrit yang mayoritas laki-laki. Kultur politik yang berciri feodal dan paternalis menjadi batu penghalang (stumbling block) pengaktualisasian "talenta politis" yang jenial dari YW.


Fenomena berikut bisa dijadikan justifikasi dari tesis di atas. Pertama, proses pengambilan kebijakan publik di kabupaten ini sarat dengan unsur balas dendam dan balas budi. Para penentu kebijakan (policy maker) yang kebanyakan laki-laki lebih mengabdi kepada pemilik modal (kontraktor) lokal yang turut berjasa terhadap jabatan yang dipegang oleh sang bupati. Wilayah atau kelompok (umumnya kaum perempuan) yang tidak segaris dalam kompetisi sudah pasti diabaikan.


Kedua, posisi sebagai 'Pemegang Palu Dewan" dalam edisi sebelumya tak selalu berkontribusi bagi akselerasi perwujudan proses politik yang pro bonum commune.  Publik sering mendengar "curahan hati" dari Sang Ketua yang merasa 'kurang percaya diri' dalam mengambil pelbagai kebijakan politik. Eksistensi Ketua DPRD masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Bupati.  Kesannya bupati menjadi pemain tunggal dalam menjalankan roda kepemimpinan politik di Mabar.


Ketiga, kelompok kritis sebagai kelompok penekan (pressure group) belum tampil maksimal di kabupaten ini. Implikasi negatifnya adalah menguatnya kultur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Para aparatus negara dengan leluasa berselingkuh untuk menjarah atau merampok uang rakyat. Perhatian terhadap kehidupan perempuan menjadi mustahil.


Konsentrasi para politisi lokal adalah bagaimana menggunakan kesempatan seefektif mungkin untuk menumpuk kapital dan memperkaya keluarga atau kerabat dekat mereka.


Penulis berharap Ibu YW menyadari lanskap perpolitikan yang dekil ini. Kapasitas Ketua DPRD memang tidak terlalu strategis dalam pemanifestasian misi "pembangkit spirit" bagi kaum perempuan. Untuk itu, transformasi gugus pikir (mindset) menjadi imperatif kategoris saat ini.


Penata Rumah Politis


Sudah pasti, Ibu YW tidak akan mengubah apa-apa terutama pengangkatan martabat perempuan Mabar jika berhenti pada filosofi 'peretas tembok patriarki'. Mengapa? Setting kultur politik lokal seperti yang terpapar di atas berpotensi "mematikan" spirit perjuangan.


Apa artinya jika 'kultur kelelakian' yang dipatahkan YW ternyata di ruangan utamanya penuh dengan "debu politik" para elite yang notabene laki-laki? Penulis sangat pesimis bahwa pasca pelantikan YW banyak perempuan Mabar berebutan memasuki pintu politik yang telah dibuka YW.


Baca: Mabar Bangkit, Indonesia Maju


YW mesti menghantar publik khususnya kaum perempuan memasuki ruang utama untuk menata dan mendesain pelbagai aktivitas politik yang berperspektif perempuan dan menjawabi kebutuhan dasariah kaum perempuan. Salah satunya adalah perwujudan imajinasi keikutsertaan perempuan dalam ranah politik praktis.


Itu berarti YW tidak boleh hanya sebagai 'pendukung kebijakan pemerintah', tetapi sebagai aktor utama menghadirkan keutamaan perempuan yang bisa mengubah penataan ruang publik-politis di Mabar. Ibu YW tidak hanya berbeda dalam hal gender, tetapi menghembuskan roh perbedaan dalam panggung politik lokal yang sudah berlumuran dengan lumpur kepentingan para lelaki. Tantangan ini dijawab YW lewat prestasi kinerja dan mutu pelayanan dalam kapasitas sebagai Ketua DPRD.


Dengan demikian, podium politik kita tidak lagi dinodai oleh intrik dan tipu muslihat para lelaki, tetapi akan dinetralisir dengan keindahan dan kepedulian seorang ibu dalam merawat dan menghidupkan tubuh politik di Mabar sini dan kini (hic et nunc).


Publik Mabar manaruh harapan dan kepercayaan akan keunggulan yang dipunyai Ibu YW. Sentuhan dan buaian sebagai seorang ibu dalam merias wajah politik lokal sangat dirindukan. Penulis yakin, dalam dan dari rumah politik yang ditata oleh seorang ibu, publik dapat dengan bebas mengaktualisasikan potensi masing-masing demi kejayaan kabupaten ini.


Bersama rekan pimpinan DPRD yang lain, Ibu YW akan tampil sebagai perancang utama menata rumah publik Mabar lima tahun ke depan. Harapannya adalah rumah ini semakin kokoh dan cantik, bukan terkesan angker sehingga sulit dimasuki oleh para perempuan. 


Para penghuni rumah ini bisa menghirup udara kesejahteraan karena YW bersama perempuan politik lainnya, akan berjuang menyiapkan pelbagai "perabot publik" untuk diolah dan dinikmati. Profisiat kepada Ibu YW yang telah bersedia menjadi penata utama rumah politik DPRD Mabar. Publik Mabar pasti bangga dengan Ibu.


Palu yang ibu YW pegang, mesti mengalirkan 'berkat' bagi perempuan Mabar. Kita tidak ingin ibu YW menyia-nyiakan dan apalagi 'menyalahgunakan' palu itu. Pastikan bahwa 'palu' itu punya daya politis yang dahsyat. Publik merindukan semacam 'daya magis' dari palu yang ibu YW pegang.


*Penulis adalah warga jelata. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Yopi Widyanti dan 'Politik Kepedulian Pada Perempuan'

Trending Now

Iklan