Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

'Generasi Cengeng' atau Berkarakter? (Refleksi Guru 'Tidak Boleh" Pukul Murid)

Suara Bernas
Wednesday, February 26, 2025 | 11:05 WIB Last Updated 2025-02-26T04:09:33Z

Oleh: Sil Joni*


'Generasi Cengeng' atau Berkarakter? (Refleksi Guru 'Tidak Boleh" Pukul Murid)
'Generasi Cengeng' atau Berkarakter? (Refleksi Guru 'Tidak Boleh" Pukul Murid)



Rasanya sebuah kebohongan bila tidak ada lagi 'guru yang pukul siswa' di sekolah saat ini. Praktek pemberian hukuman fisik, belum sepenuhnya lenyap dari lingkungan pendidikan. 


Baca: "Kuliah Singkat Cepat Kerja" (Pengendapan Materi Obrolan dengan Ibu Ernita)


Guru seolah berada di persimpangan. Jika tidak tegas, maka 'generasi cengeng' kian beranak pinak. Niat membentuk 'generasi berkarakter', tampak sulit terwujud, sebab regulasi membatasi 'sikap tegas' dalam menyadarkan perilaku peserta didik.


Adakah 'cahaya harapan' di ujung terowong yang seolah buntu ini? Masih adakah jalan tengah untuk mewujudkan ideal generasi berkarakter, tanpa harus 'merendahkan martabat siswa' tanpa penggunaan sanksi fisik? Apakah mungkin generasi berkarakter lahir dari iklim pendidikan yang 'ramah anak'?


Kita cenderung berpikir dan bertindak 'hitam putih' dalam merespons kasus pemukulan siswa oleh guru. Bahwasannya, pemukulan itu dengan alasan apapun tetap dilihat sebagai aksi kejahatan. Karena itu, kita ramai-ramai 'mengutuk' guru yang melakukan tindakan kekerasan itu. Bahkan, kita meminta dengan tegas agar kasus semacam itu diproses secara hukum. Ada semacam kepuasan psikologis jika guru yang mendidik siswa dengan cara memukul itu, dijebloskan dalam jeruji bui.


Baca: SMKN 1 Satarmese Gelar Lomba Tingkat SMP Se-Satarmese Raya; Asah Kompetensi, Raih Karakter Unggul


Lusinan peluru argumentasi, kita muntahkan untuk menjustifikasi penilaian kita terhadap "oknum guru" itu, mulai dari alasan filosofis, HAM, hingga regulasi formal-teknis. Tegasnya, posisi tawar guru dalam mendidik siswa kian diperlemah. Guru hanya diberi ruang untuk menjadi fasilitator dan mentor dalam proses pembelajaran. Sementara, untuk proses pembentukan karakter (mental), otoritas pedagogis guru dilucuti secara tragis.


Efeknya adalah guru berjalan dalam 'bayang-bayang' perangkap hukum perlindungan anak yang sudah menjadi "harga mati" dalam konsep sekolah ramah anak saat ini.  Mereka menjadi canggung dan enggan untuk memberikan "sanksi tegas" kepada siswa yang melanggar aturan atau bertindak tidak wajar (nakal) baik di lingkungan sekolah, di rumah, dan di lingkungan kemasayarakatan (sosial).


Saya kira sikap permisif ini berimplikasi pada mutu kepribadian (sifat dan perilaku) para siswa. Tentu saja, metode pembinaan (pendidikan) yang serba dilematis itu berujung pada lahirnya generasi bangsa yang lembek dan cengeng. Mentri pendidikan Muhaidjir Efendi sudah  menyadari situasi dilematis yang dihadapi oleh guru tersebab oleh pemberlakuan undang-undang perlindungan anak itu.


Pihak Kemendikbud telah mengingatkan agar orangtua dan anak tidak berlindung di balik undang-undang itu. Maksudnya adalah jangan sampai kita tidak menoleransi setiap metode, strategi, dan pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mendidik/membina mental para siswa di sekolah. Melaporkan tindakan mendidik dari guru ke pihak berwajib, tentu saja menyuburkan ketakutan dalam tubuh guru. Ekses negatifnya adalah "guru ngambek" untuk memperhatikan perkembangan mental para siswa.


Saya kira, harus diakui bahwa "hukuman fisik", bukanlah cara yang ideal dalam menyadarkan seorang anak akan kesalahan yang dibuatnya. Namun, dalam situasi dan batas tertentu, hemat saya memukul  merupakah pilihan yang tepat untuk siswa tertentu, asalkan tidak dibuat secara emosional dan brutal. Prinsipnya adalah mengingatkan anak akan kesalahannya, bukan menganiyanya secara tidak manusiawi (sadis).


Baca: "Kuntum Literasi" yang Sedang Mekar


Pertanyaan saya adalah apakah anak-anak kita di NTT umumnya dan Mabar khusunya berasal dari latar belakang keluarga yang sangat menghormati HAM? Apakah para orangtua kita tidak pernah menjewer, mencubit, menampar dan memukul anak-anak pada saat melakukan kesalahan?



*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • 'Generasi Cengeng' atau Berkarakter? (Refleksi Guru 'Tidak Boleh" Pukul Murid)

Trending Now

Iklan