Oleh: Tuan Kopong MSF
![]() |
Haruskah Kita Menghormati Semua Orang? Bahkan Mereka Yang Tidak Memperolehnya? |
Gereja adalah kita: bukan hanya hirarki, juga bukan hanya umat. Melainkan kita semua yang berjalan bersama, peziarah harapan di jalan Kristus untuk tujuan yang sama: menguatkan iman, meneguhkan harapan.
Maka apapun kesalahan dan kekeliruan yang melibatkan hirarki dan umat, itu adalah kekeliruan Gereja. Karena itu yang paling penting adalah pertobatan bersama karena harapan tidak mengecewakan.
Tulisan ini adalah sebuah refleksi, tanpa menghakimi ataupun membela, namun sebuah pijakan untuk kembali menggemakan pertobatan seraya mengakui bahwa tindakan saya keliru tanpa menghakimi pribadi.
Bagaimana kita menghormati martabat seseorang ketika mereka telah menyakiti kita, menganiaya orang lain, atau menjalani kehidupan yang kita anggap sangat tidak teratur?
Menghormati orang yang tampaknya tidak pantas dihormati mungkin merupakan salah satu dari tiga tantangan terbesar dalam hubungan antar manusia. Bagaimana kita menghormati martabat seseorang ketika mereka telah menyakiti kita, menganiaya orang lain, atau menjalani kehidupan yang kita anggap sangat tidak teratur?
Perspektif Katolik mengenai masalah ini bergantung pada satu prinsip utama dan lugas: Setiap manusia diciptakan menurut gambar Allah dan, dengan demikian, memiliki martabat yang melekat.
Martabat ini tidak diperoleh melalui perilaku baik atau kesempurnaan moral, melainkan diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan – sebuah fakta yang menjadi inti ajaran Katolik tentang rasa hormat.
Baca: Makluk Tuhan 'Paling Indah' (Apresiasi untuk Perempuan di 'Hari Ibu')
Jadi ketika kita menunjukkan rasa hormat kepada semua orang, kita bertindak sesuai dengan apa yang kita tahu benar. Perilaku orang lain tidak boleh menyebabkan kita mengkhianati ketaatan kita sendiri terhadap kebenaran yang telah kita anut.
Makhluk Tuhan
St Thomas Aquinas menghubungkan rasa hormat dengan kebajikan keadilan. Dalam Summa Theologia, Aquinas mendefinisikan keadilan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Hal ini tidak hanya berarti memberi mereka imbalan atau hukuman berdasarkan tindakan mereka; artinya mengakui apa yang menjadi haknya sebagai makhluk Tuhan.
Rasa hormat, dalam pengertian ini, adalah suatu bentuk keadilan yang mengakui nilai intrinsik setiap orang, apapun cara mereka bertindak. Hal ini mencerminkan keadilan yang Tuhan tunjukkan kepada kita: anugerah dan belas kasihan yang tidak selayaknya diperoleh atas kekurangan kita sendiri.
Katekismus Katolik (KGK 1931) menegaskan gagasan ini dengan menyatakan, “Penghormatan terhadap pribadi manusia dimulai dengan penghormatan terhadap prinsip bahwa setiap orang (tanpa kecuali) harus menganggap sesamanya sebagai ‘diri yang lain’.”
Dengan kata lain, menghormati seseorang, bahkan ketika kita merasa mereka tidak pantas mendapatkannya, adalah lebih dari sekedar kesopanan lahiriah – ini adalah tentang melihat mereka memiliki martabat yang setara dengan diri kita sendiri.
Hormati dengan Ketulusan
Rasa hormat tidak bersifat pasif. Ajaran Katolik tidak menyarankan bahwa menghormati seseorang berarti mengabaikan kesalahannya, memaafkan perilaku berdosa, atau memaafkan ketidakadilan. Keadilan, seperti dijelaskan Aquinas, mencakup koreksi.
Rasa hormat yang tulus dapat mencakup meminta pertanggungjawaban seseorang, bukan karena dendam atau superioritas, namun karena cinta dan kepedulian terhadap jiwa mereka.
Kita bisa mencari keadilan dalam bentuk pertanggungjawaban dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran bahwa setiap orang adalah anak Tuhan yang dikasihi.
Ajaran Yesus memberikan bimbingan yang paling jelas dalam hal ini. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus menantang kita untuk mengasihi musuh kita dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita (Matius 5:44).
Inilah sifat radikal dari rasa hormat Kristiani – memberikan kasih, belas kasihan, dan martabat bahkan kepada mereka yang tampaknya tidak layak di mata kita.
Jika kita mencermati teladan Kristus, kita akan melihat bahwa rasa hormat-Nya terhadap umat manusia tidak pernah bergantung pada perilaku individu.
Baca: Habis Akal, Tidak Putus Asa: Rahasia Kekuatan Iman ala Santo Paulus
Yesus menjangkau para pemungut pajak, pelacur, dan orang-orang berdosa bukan karena Ia menyetujui tindakan mereka, namun karena Ia melihat dalam diri mereka apa yang sering kali tidak terlihat oleh orang lain: martabat dan potensi penebusan yang diberikan Allah kepada mereka.
Perbedaan Penting
Hal ini tidak berarti bahwa kita dipanggil untuk menjadi keset atau diam-diam menoleransi perbuatan salah. Iman Katolik menyeimbangkan keadilan dan belas kasihan. Pepatah yang diatribusikan kepada St. Agustinus, “Benci dosa, kasihi orang berdosa.” Inti dari pepatah bijak ini adalah bagaimana kita harus mendekati orang lain.
Menghargai seseorang berarti mengakui harkat dan martabatnya, namun juga memungkinkan kita untuk menentang tindakan yang merugikan atau merendahkan kehidupan manusia.
Kita bisa menentang tindakan seseorang dan tetap menghormati kepribadiannya. Pada akhirnya, menghormati mereka yang tampaknya tidak pantas mendapatkannya adalah sebuah kesempatan untuk transformasi pribadi.
Di saat-saat inilah kita diajak untuk bertumbuh dalam kerendahan hati, kasih amal, dan pengertian. Kita mencerminkan kasih Kristus ketika kita menghormati orang lain dalam ketidaksempurnaan mereka, sebagaimana Dia menghormati dan mengasihi kita dalam ketidaksempurnaan kita.
Menghormati orang lain dengan cara yang radikal dan seperti Kristus bukan hanya mungkin dilakukan – ini adalah bagian dari panggilan kita sebagai umat Katolik.
Telok: Februari 2025