Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Kasih Sayang Sebagai Kunci Sukses (Kisah Guru Inspiratif di Labuan Bajo)

Suara Bernas
Monday, February 10, 2025 | 13:45 WIB Last Updated 2025-02-10T06:59:14Z

Oleh: Sil Joni*


Kasih Sayang Sebagai Kunci Sukses (Kisah Guru Inspiratif di Labuan Bajo)
Kasih Sayang Sebagai Kunci Sukses (Kisah Guru Inspiratif di Labuan Bajo) (Sil Joni)



Jika bukan karena 'asupan kasih sayang' dari SMK Stella Maris, mungkin saya 'tidak bisa tampil percaya diri dalam bidang literasi' seperti sekarang ini. Stella Maris bagi saya, merupakan 'ladang' di mana saya boleh merasakan kehangatan dan kasih sayang yang memungkinkan saya berkspresi secara kreatif dalam bidang 'menulis'.


Baca: Pelukan Kasa (Sebuah Pengalaman ‘Menangani Luka’ di SMK Stella Maris)


Setelah hampir 13 tahun mengabdi di lembaga ini, saya tiba pada 'kesimpulan' ini, bahwasanya 'Sang Cinta' telah merancang 'kisah cinta' yang tak lekang oleh waktu antara saya dan Stella Maris. Keberadaan saya di lembaga ini, bukan sebuah 'peristiwa kebetulan' belaka, tetapi saya maknai sebagai semacam 'panggilan dari Sang Mahacinta untuk berbagi cinta di ladang ini.


Oleh sebab itu, perkenankan saya, pada momen 'Hari Kasih Sayang' (14 Februari) ini, membentangkan 'tute perjalanan cinta itu' selama berkarya di sini. Lulus dengan predikat ‘cum laude’, tak menjadi garansi untuk dapat pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja yang baru. Setidaknya, itulah yang saya alami setelah tamat kuliah dari salah satu Perguruan Tinggi kenamaan di Flores. Gelar ‘Sarjana Filsafat (S.Fil)’ diraih pada tahun 2010. Dua tahun pasca ‘menggondol’ titel  akdemik itu, saya tinggal di kampung (Nampar, Desa Golo Sepang) sebagai  penganggur.


“Untuk apa kamu sekolah sampai jenjang Perguruan Tinggi, jika akhirnya kamu jadi penganggur dan menambah beban orang tua saja?” Itulah kalimat yang kerap terlontar dari mulut mama saya, Elisabeth Iwul kala itu. Saya pura-pura tersenyum dengar ‘omelan’ sang mama itu. Padahal, hati ini sangat terluka. Pedih sekali rasanya.


Kemarahan Mama Elisabeth itu, tentu saja bukan karena benci, tetapi wujud rasa cintanya kepada sang anak. Amukan itu saya anggap sebagai semacam 'cambuk' yang membuat saya untuk segera keluar dari 'situasi yang kurang ideal' itu. 


Tak tahan dengan ‘tamparan sang mama’, akhirnya pertengahan tahun 2012, saya coba ‘merantau’ ke kota wisata, Labuan Bajo. Saya tidak tahu entah adakah pekerjaan yang ‘pas’ dengan kapasitas yang saya punyai saat itu. Namun, saya yakin bahwa Sang Cinta pasti 'menghantar saya' ke padang yang penuh cinta juga.


Baca: Urgensi Merayakan Cinta, Merawat Kemanusiaan (Dari Stella Maris Teruntuk Dunia)


Terbukti, dalam kebingungan, suatu sore, pada ujung Agustus 2012, persis di pinggir lapangan Sepak Bola SMAK, St. Ignatius Loyola Labuan Bajo, secara kebetulan saya berjumpa dengan Rm. Ferdinandus Usman, Pr yang pada saat itu genap satu tahun sebagai Kepala SMK Stella Maris.  Setelah bertegur sapa dan komunikasi basa-basi, saya coba mengutarakan niat untuk menjadi ‘salah satu staf pengajar’ pada lembaga yang dipimpinnya.


“Apa masih butuh guru di SMK Stella Maris Romo?”, tanya saya seadanya. “Memangnya kraeng mau mengajar?”, balas Rm. Ferdi. Sebuah jawaban yang bikin hati senang. Itu adalah ‘kode’ bahwa saya bakal diterima untuk menjadi ‘guru’ di lembaga itu.


Tidak butuh waktu lama lagi, saya langsung sambar. “Betul Romo. Saya datang dari kampung untuk cari pekerjaan di kota ini”. Rm. Ferdi menatap saya penuh selidik seolah tak yakin dengan jawaban itu. “Baik sudah, nanti kraeng  buat surat lamaran ke Yayasan Persekolahan Umat Katolik (Yasukma) di Ruteng dengan tembusan Kepala Sekolah SMK Stella Maris Labuan Bajo”.


Dengan wajah berseri-seri, saya jawab: “Siap Romo. Terima kasih banyak”. Sebelum berpisah, Romo Ferdi berkata: “Nanti, kraeng masuk awal September”. Saya pulang ke penginapan dengan langkah penuh semangat. Ini semacam 'jawaban' dari doa yang melengking dari 'bibir derita' sebagai penganggur. Tetapi, muncul pertanyaan apakah saya bisa menjadi ‘guru yang inspiratif’ untuk anak-anak SMK itu nanti?


Fajar awal September 2012 telah menyingsing. Untuk pertama kalinya saya berada di lingkungan sekolah sebagai seorang ‘guru’. Kintal SMK Stella Maris berhasil dilewati. Situasi di sekolah pagi itu, tak terlalu ramai. Tampak beberapa siswa dan dua orang guru berbincang ria.


“Selamat pagi”, ucap saya dengan nada sopan. Saya mendatangi mereka dan memberi salam seraya memperkenalkan diri. Seorang rekan guru ‘menemani saya’ untuk masuk dalam ruang guru. Ruangan itu berada di tengah, di antara ruang (kos) siswa dan kelas IA. 


Tak lama kemudian, Kepala Sekolah, tiba di ruangan itu. Beliau mengajak saya untuk bertemu secara pribadi di ruangannya. Beliau meminta saya untuk mengajar ‘Mata Pelajaran Bahasa Indonesia’ dengan konsentrasi pada kemampuan menulis. Honor saya sebagai guru, demikian Rm. Ferdi, “sesuai kemapuan keuangan Yayasan, hanya Rp600.000”.


Saya menarik nafas dalam-dalam. “Tak masalah. Yang penting saya diterima di sekolah ini”, ujar saya dalam hati. Waktu itu, hanya ada dua program keahlian, yaitu Nautika kapal Penangkap Ikan (NKPI) dan Teknik kendaraan ringan (TKR). 


Saya masih ingat, jumlah siswa kelas tiga (XII) waktu itu adalah 8 orang, dengan rincian 3 orang dari program NKPI dan 5 orang dari program TKR.  Tidak ada siswa di kelas dua (XI). Sementara itu, untuk kelas X berjumlah 40 orang (20 program NKPI dan 22 untuk program TKR). Tenaga Pendidik dan Kependidikan, hanya ada 8 orang.


SMK Stella Maris kala itu, boleh dibilang, ‘hidup enggan mati tak mau’. Lembaga ini sedang dililit “krisis multi aspek’ yang berimbas pada merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat untuk mengirim putra/putri mereka ke  sini. Sebuah ‘kondisi’ yang sangat menantang, tak terkecuali untuk saya yang ‘baru’ menjadi bagian dari komunitas ini.


Saat itu, kami begitu yakin dengan 'kekuatan cinta'. Jika kita memberikan cinta secara total untuk keberlanjutan lembaga ini, maka tidak ada yang 'dapat menghentikannya'. Keyakinan semacam itulah yang membuat kami 'tak dirundung rasa kurang semangat'. 


Layar harapan tetap dipasang. “Saya tidak boleh menyerah”, gumanku dalam hati. Situasi menjadi tambah runyam, ketika di dalam kelas, saya seolah ‘berbicara seorang diri’. Idealisme dan spirit keilmuan yang membara dalam diri, seolah ‘runtuh’ karena tak konek dengan kemampuan peserta didik kala itu. Mungkin standar dan metode mengajar saya yang terlalu tinggi, sehingga nyaris, tak satu pun topik yang didiskusikan pada pekan-pekan awal, ditangkap dengan baik oleh para siswa. 


Spirit kasih sayang selalu dikedepankan ketika berhadapan dengan kenyataan semacam itu. Karena besarnya 'rasa cinta' kepada siswa, saya coba 'menggali dan menemukan' alternatif untuk mengatasi persoalan itu. 


Benar bahwa saya hampir frustrasi kala itu. Beruntung, seorang rekan guru, berusaha membesarkan hati saya. Hampir setiap hari, guru senior itu, memberikan tips sederhana ‘bagaimana menghadapi kelas yang kemampuan akademik siswanya tak terlalu memuaskan’. Saya ‘belajar banyak hal’ dari rekan guru tersebut.


Pelan tetapi pasti, saya bisa ‘mengatasi’ tantangan tersebut. Semakin ke sini, saya semakin menikmati pekerjaan saya sebagai seorang guru. Situasi ‘monolog’ dalam kelas, kini tinggal kenangan. Kelas yang saya ‘tangani’, semakin hidup sebab saya lebih ‘mengutamakan’ kebutuhan siswa ketimbang ‘memamerkan’ keahlian saya dalam mengajar.


Sepertinya, cinta yang diungkapkan dengan tulus itu, punya 'daya mengubah'. Tidak ada yang 'tidak mungkin' ketika kita selalu mengandalkan kekuatan cinta (the power of love). 


Baca: "Festival Seni dan Literasi” untuk Publikasi Mading


Kendati demikian, harapan Kepala Sekolah agar saya lebih memperhatikan kemampuan menulis peserta didik, rasanya belum bisa saya penuhi pada tahun pertama. Pertengahan 2013, saya mulai menggenjot kemampuan berbahasa anak-anak, khususnya kecakapan menulis. Bersama rekan-rekan guru, kami mulai menghidupkan ‘Majalah Dinding (Mading) Sekolah dan mulai ‘menodong’ para peserta didik untuk aktif menulis di Catatan Harian (Diari).


Hasilnya, mulai tahun 2014, SMK Stella Maris sudah bisa ‘bersaing’ dengan sekolah-sekolah lain dalam mengikitu Lomba Menulis artikel Opini, Puisi dan Teks Pidato. Seingat saya, beberapa kali ‘sekolah ini keluar sebagai pemenang pertama’ ketika ajang lomba itu digelar. Selain itu, mereka tidak kesulitan dalam menyusun ‘Teks Laporan’ setelah masa “Praktik Kerja Lapangan’ (PKL) berakhir.  Tegasnya, semakin banyak siswa SMK Stella Maris yang ‘tertarik’ untuk menekuni dunia ‘tulis-menulis’.


Kini, tampilan SMK Stella maris jauh lebih manis. Kondisi yang menantang itu, rasanya tak terlihat lagi. Sekolah ini telah ditetapkan sebagai salah satu SMK ‘Pusat Keunggulan’ dan Sekolah Penggerak di Kabupaten Manggarai Barat. Saya kira, prestasi tersebut tidak terlepas dari 'mengakarnya peradaban cinta' di padang ini.


Meski begitu, bagi saya SMK Stella Maris, tidak hanya sebagai ‘tempat mengajar’, tetapi ladang yang membuat saya terpanggil untuk ‘menyuburkan’ tunas muda yang tumbuh di dalamnya. Meski awalnya ‘ladang’ itu sangat menantang, tetapi berkat ketekunan dan kerja keras dan kerja cerdas dari semua komponen, akhirnya ‘tantangan’ itu menjelma jadi ‘berkat’ bagi generasi muda yang mau ‘ditempa’ di medan pendidikan ini.


Kini, saya menyaksikan sendiri bagaimana 'tunas-tunas' cinta bertumbuh subur di ladang ini. Hampir saban hari, ladang ini mendapat 'siraman pupuk cinta' dari Sumber Cinta Sejati. Segenap civitas akademika 'dipanggil' untuk menjabarkan cinta itu secara nyata melalui pola laku, tutur kata, dan rangkaian proses pembelajaran setiap hari.


Pohon kasih yang sudah bertumbuh rimbun di sini, hendaknya 'tidak layu' oleh ulah dari warganya sendiri. Mari kita 'rawat' benih kasih, agar pada saatnya kita 'boleh memanen hasil yang berkelimpahan dan bermutu'. Selamat merayakan Valentine's Day!



*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kasih Sayang Sebagai Kunci Sukses (Kisah Guru Inspiratif di Labuan Bajo)

Trending Now

Iklan