Oleh: Sil Joni*
![]() |
Menanti Putusan MK (Sil Joni) |
Bukti hukum sebagai basis perkara, sudah dikantongi. Dengan segepok bukti itu, pihak pemohon sangat yakin bahwa 'hasil pilkada' akan berkata lain alias tidak sesuai dengan putusan pihak penyelenggara. Dengan itu, mimpi meraih kuasa, bisa terwujud.
Pertandingan politik dalam rangka 'memperebutkan' jabatan bupati dan wakil bupati belum dinyatakan kelar. Kontestasi Pilkada sebagai instrumen formal mendapatkan posisi politik prestisius itu sudah usai, namun masih ada yang 'belum puas' dengan hasil akhirnya. Mereka coba menyalurkan 'ketidakpuasan' itu melalui forum hukum resmi di Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil, pertempuran hukum pun berlansung alot di ruang MK.
Baca: Kaum Muda Mabar "Melek Politik"
Saya kira, sebagian besar netizen Mabar sudah menonton dan menyimak jalannya 'Perkara 65', Perkara Hasil Pemilihan bupati-wakil bupati Mabar, yang sejauh ini berlangsung dua kali di gedung MK. Tak bisa dihindari bahwa tiap-tiap kepala, memiliki interpretasi dan juga ekspektasi terhadap sengketa itu.
Mengingat perkara ini masih merupakan episode lanjutan 'kompetisi politik Pilkada', maka tak bisa dielak bahwa arah dan muatan penafsiran kita pun bersifat politis. Saya mendapat kesan bahwa kebanyakan analisis dalam ruang publik digital saat ini cenderung 'menjagokan' perjuangan politik dari paslon favoritnya.
Fenomen semacam itu hendaknya dibaca dalam terang iklim kontestasi, di mana pemikiran kita masih terfragmentasi dalam blok-blok politik partisan. Dalam situasi 'berkompetisi', maka penafsiran yang belepotan dengan interes politik tentang 'hasil akhir' pertempuran hukum dalam gelanggang MK, merupakan hal wajar bahkan sebuah keniscayaan.
Baca: Pilkada Mabar, Lanjutkan Gerakan Perubahan!
Pedang argumentasi hukum mesti diasah secara serius agar semakin tajam dalam 'memotong' argumen pihak lawan. Para pendekar hukum coba berjibaku untuk meyakinkan hakim MK agar pendulum putusan menguntungkan klien. Rupa-rupa argumentasi dikredit secara kreatif untuk menjustifikasi 'tuntutan' mendapatkan posisi kuasa dari 'klien yang dibela'.
Kita, terutama para pendukung fanatik, hanya punya hak untuk bermimpi agar dewi iustitia berpihak pada pasangan calon (paslon) jagoan. Tetapi, para hakim MK yang punya 'kuasa' ke arah mana sang dewi keadilan itu terbang.
'Perkara 65', menjadi 'tontonan atau lebih tepat hiburan' yang sangat menarik. Publik penonton begitu 'menikmati' pernyataan hukum yang meluncur dari 'laskar hukum' masing-masing kubu. Bisa dipastikan bahwa mereka, terutama pihak pemohon, 'hadir' dalam pertempuran itu, dengan menenteng aneka peluru hukum yang mematikan.
Baca: Yopi Widyanti dan 'Politik Kepedulian Pada Perempuan'
Kita menanti dalam 'ketidakpastian' soal hasil akhir. Saat ini, perang narasi perihal 'siapa pemenang' sengketa itu, terus bergulir dalam ruang publik. Kubu pemohon (pihak yang minus dalam perolehan suara Pilkada), masih optimis bahwa mereka bakal keluar sebagai kampium. Sebelum palu putusan MK berbunyi, pantang bagi mereka untuk lempar handuk.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.