Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pemilu 2024; Minus Partisipasi Publik atau Kualitas Demokrasi?

Suara Bernas
Monday, February 24, 2025 | 18:13 WIB Last Updated 2025-02-24T11:25:06Z

Oleh: Sil Joni


Pemilu 2024; Minus Partisipasi Publik atau Kualitas Demokrasi?





Hari ini, Senin (24/2/2025), KPUD Manggarai Barat menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) perihal Penyusunan Laporan Evaluasi Pemilihan 2024. FGD itu digelar di Hotel Zasgo, Labuan Bajo. Saya diminta untuk menjadi salah satu 'pemantik api diskusi' dalam FGD itu.  Pandangan yang mengemuka dalam forum itu, terangkum dalam tulisan sederhana ini.


Baca: Kolaborasi Bangun Manggarai, Pemdes Terong Beri Bantuan 10 juta Lebih Tingkatkan Kualitas SDM SMKN 1 Satarmese


Jika tidak berpartisipasi adalah ‘hak yang mesti dihormati’, maka dalam pemilihan umum (Pemilu_ dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kita memakai salah satu dari dua hak, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk tidak memilih. Padahal, kontestasi demokrasi elektoral dalam bentuk pemilu dan Pilkada merupakan instrumen efektif dalam memanifestasikan kedaulatan publik untuk menentukan pemimpin politik yang berkualitas.


Tentu, sangat kontraproduktif dengan misi mewujudkan kedaulatan publik jika kelompok yang menggunakan hak tidak berpartisipasi, cenderung tinggi dari Pemilu ke Pemilu. Penulis coba ‘membedah’ soal penggunaan hak berpartisipasi itu di Manggarai Barat (Mabar). Hak partisipasi itu diteropong dari semua aspek dalam proses kontestasi, mulai dari proses kandidasi, sampai pada hari pencoblosan di TPS. 


Karena itu, tulisan ini tidak hanya ‘memotret’ jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, tetapi coba ‘melihat secara obyektif’ bentuk partisipasi publik dan sejumlah kendala yang menghambat perwujudan  peluang partisipasi itu. Pertanyaannya adalah benarkah publik Mabar ‘terlibat aktif’ dalam dua pesta politik itu? Jika iya, seperti apa bentuk partisipasi tersebut? Apakah partisipasi itu berpengaruh terhadap kualitas proses dan hasil Pemilu?


Pemilu/Pilkada untuk Publik dan  Bahaya ‘Politik Curang’


Kontestasi politik pada semua tingkatan, idealnya dilihat sebagai sarana untuk ‘memperbaiki tata kehidupan bersama’. Pemimpin yang dihasilkan melalui mekanisme ‘Pemilihan Umum’, sebetulnya bertujuan untuk ‘mendapatkan’ figur pemimpin politik dengan tugas pokok mengakselerasi pencapaian kondisi kemaslahatan publik. Jadi, secara teoretis Pemilu dibuat semata-mata untuk pemenuhan ekspektasi publik par excellence.


Namun, dalam prakteknya Pemilu atau Pilkada sering direduksi maknanya hanya sebagai arena perebutan kekuasaan politik. Setiap pemain yang bertanding dalam arena kompetisi itu, pasti mempunyai ambisi untuk menjadi ‘pemenang’. Ketika para aktor politik dikuasai oleh ‘nafsu untuk menjadi penguasa’, maka bukan tidak mungkin segala cara dipakai. Saya kira, dalam praksis selama ini, fenomena ‘menabrak rambu-rambu etis dan regulasi’ dalam kontestasi, kerap terjadi.


Asumsinya adalah kekuasaan yang didapat dengan cara curang, tipu daya, berpotensi menghasilkan pemimpin yang korup. Demokrasi sebenarnya instrumen yang ideal untuk mencegah pemimpin yang buruk dan koruptif berkuasa. Kepemimpinan yang koruptif tentu kontraproduktif dalam upaya memanifestasikan perbaikan kepentingan bersama.


Baca: Pelantikan Gubernur NTT dan Bupati Manggarai: Harapan Baru, Maju Lebih Cepat, Tuntaskan!


Untuk itu, publik mesti ‘proaktif’ agar tidak membiarkan para aktor politik menggunakan cara-cara tak etis dalam merebut kekuasaan politik. Sedini mungkin publik mencium bau penipuan dan berusaha untuk mengawasi setiap pergerakan yang mencurigakan dari para kontestan politik itu.


Dengan demikian, proses rekruitmen kader dan pengawasan dalam Pemilu tidak hanya menjadi tugas utama Partai politik  dan penyelenggara seperti Bawaslu, tetapi juga menjadi tugas pokok dari publik pemilih. Publik mesti berani ‘menentang’ sosok yang disodorkan Parpol jika tidak sesuai kriteria dan ‘melaporkan’ setiap bentuk pelanggaran dan kecurangan, baik yang dilakukan oleh para aktor politik, maupun yang dibuat oleh para penyelenggara (KPU dan Bawaslu).


Jadi, publik konstituen, selain menggunakan ‘hak’ untuk memilih, juga mempunyai kewajiban moral untuk ‘ikut menyeleksi kader’, mengawal dan mengawasi perilaku politik para kontestan dan penyelenggara.


Sayangnya, penilaian terhadap pelaksanaan kontestasi politik selama ini, masih berorientasi pada hasil (baca: angka partisipasi di TPS). Padahal, yang paling menentukan sebenarnya adalah kualitas dari proses pelaksanaannya. Salah satu indikator kualitas proses itu adalah ‘tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya membidik kader dan pola  pengawasan pada setiap tahapan kontestasi’.


Oleh karena itu, semestinya perhatian para lembaga survei dan pemangku kepentingan lainnya lebih banyak tercurah pada ‘derajat partisipasi masyarakat’ dalam momen ‘seleksi kader’ dan pengawasan itu. Dengan itu, kita tidak lagi menjadikan dimensi ‘kuantitas suara’ sebagai rujukan keberhasilan sebuah kontestasi.


Berikut ini, saya coba ‘mengevaluasi’ mutu partisipasi publik Mabar dalam setiap tahapan kontestasi, baik Pemilu maupun Pilkada.


Urgensi Partisipasi Publik


Kata partisipasi berasal dari kata Bahasa Latin ‘pars’ yang berarti bagian. Partisipasi berarti ‘mengambil bagian’ dalam sebuah hajatan atau acara. Tetapi, tidak semua hal harus kita kerjakan dalam acara itu. Ada bagian tertentu yang menuntut semua pihak untuk ambil bagian dalam menyukseskan kegiatan tersebut.


KPU(D) biasanya menerjemahkan kata ‘partisispasi’ itu hanya sebatas ‘angka pemilih’ yang datang ke TPS  untuk menggunakan hak pilih. Pemilu 2024 (memilih presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD Propinsi) misalnya, partisipasi pemilih di Mabar mencapai angka 80% dari total 196.969 Daftar Pemilih Tetap (DPT). 


Sedangkan untuk Pilkada Mabar (27 November 2024), tingkat partisipasi pemilih mencapai 72,33% dari total 199.749 DPT. Menurut Ketua KPUD Mabar, Ferdiano Sutarto Parman, angka itu ‘tidak rendah amat’. Dengan kata lain, tingkat keterlibatan publik Mabar dalam menggunakan hak politiknya untuk edisi Pilkada 2024, tidak terlalu mengecewakan.


Saya kira, kualitas demokrasi elektoral, tidak bisa dipatok dari sisi penggunaan hak pilih semata. Kendati tingkat partisipasi di TPS 100%, tidak berarti proses kontestasi dijalankan secara berkualitas. Hemat saya, kita mesti membuat evaluasi secara komprehensif.


Pertama, proses rekruitmen kader yang berlangsung tertutup. Publik tak punya akses untuk ‘menentukan’ apakah figur yang diusung partai politik (parpol) itu layak atau tidak. Kita ‘dipaksa’ untuk menerima begitu saja calon yang disodorkan para elit parpol. Kesannya adalah publik hanya sebagai penonton atau pelengkap penyerta dari pesta politik para elit tersebut.


Saya menduga, sebagian publik yang menggunakan ‘hak tidak berpartisipasi’, dilatari oleh ‘ketaksukaan terhadap figur-figur yang disodorkan Parpol. Dalam terminologi teknis, kelompok semacam itu, masuk dalam kategori gologan putih (Golput) ideologis. Memilih untuk tidak memilih merupakan sebuah ‘metode Gerakan perlawanan’ terhadap dominasi Parpol.


Kedua, proses pengawasan Pemilu. Idealnya, publik mesti ‘berpartisipasi’ dalam kegiatan pengawasan itu. Artinya, ada bagian atau bidang tertentu di mana masyarakat harus ‘terlibat’ dalam tugas kepengawasan itu. Tetapi, masalahnya adalah publik sudah ‘masuk dalam skenario permainan elit’. Mereka terperangkap dalam ‘blok-blok politik’ yang membuat ruang pengawasan semakin sempit. Siapa mau mengawas siapa? 


Ketiga, fenomena ‘jual beli suara (vote buying). Benar bahwa mayoritas pemilih itu datang ke TPS. Tetapi, mereka hadir di sana, sebagiannya bukan semata-mata dilatari oleh kesadaran yang rasional akan ‘masa depan ruang politik’, tetapi lebih banyak karena ‘suara mereka telah dibeli’ oleh para pedagang politik. Mereka hanya ‘membawa komoditas (suara) yang sudah menjadi milik dari pemain politik.


Boleh jadi, 27,7% warga Mabar yang tidak datang ke TPS, sebagiannya sudah ‘terpapar logika transaksional’ ini. Mereka tidak ‘ikut pilih’ karena mungkin belum dapat sesuatu atau jika dapat mungkin jumlahnya kecil. 


Keempat, Pemilu/Pilkada  hanya dilihat sebagai ‘rutinitas lima tahunan’. Belum muncul kesadaran bahwa ‘kontestasi politik’ itu sangat berpengaruh terhadap perubahan kondisi politik di sebuah daerah. Efeknya, adalah ada sebagian yang merasa ‘tidak wajib’ untuk gunakan pilih di TPS.


Baca: Menanti Putusan MK


Dari fenomena di atas, saya berasumsi bahwa ‘hampir tidak ada wujud partisipasi yang otentik’ dalam Pemilu/Pilkada 2024. Yang ada adalah ‘quasi partisipasi’, seolah-olah publik terlibat, tetapi sebetulnya tidak. Kita menjadi ‘obyek mainan’ para elit. Demokrasi partisipatoris belum sepenuhnya terwujud dalam Pilkada Mabar.


Kelima, efek lanjutan dari ‘pembatasan hak publik’ itu adalah publik bersikap indifferen, tidak perduli dengan pesta demokrasi itu. Dalam rumusan yang lebih positif, mereka lebih tertarik menggunakan ‘hak untuk tidak berpartisipasi’ dalam event politik itu. Alasannya adalah Pemilu relativ tidak berdampak bagi perubahan kondisi kehidupan publik.


Tesis utama saya adalah tingginya partisipasi publik, mulai dari proses pencalonan, pengawasan sampai pada hari pemungutan suara, merupakan variabel kunci dalam meningkatkan kualitas praksis demokrasi kita. Publik tidak boleh bersikap pasif dalam setiap pelaksanaan kontestasi politik. Masalahnya adalah Pemilu selalu dihantui atau diliputi dengan berbagai potensi pelanggaran. Jika pelanggaran itu terjadi, maka akan merusak kualitas Pemilu.


Pemilu adalah instrumen pengartikulasian kedaulatan publik untuk mendapatkan pemimpin demokrasi yang berkualitas. Untuk itu, partisipasi publik dalam ‘menentukan sosok yang yang tampil di gelanggang pertarungan dan mengawasi setiap tahapan proses penyelenggaraan sebuah ‘kontestasi demokrasi elektoral’, menjadi sebuah keharusan. Partisipasi publik dianggap sebagai nyawa dalam kontestasi politik. 


Dari pengalaman, hanya ‘sisi pengawasan’ yang berjalan, meski belum optimal. Sementara soal ‘penjaringan atau penentuan calon’, masih dimonopoli oleh parpol. Publik tak terlalu peduli dengan ‘urusan internal’ parpol tersebut.


Pengawasan partisipatif yang menjadi program unggulan Bawaslu, tidak hanya berupa wacana yang bersifat sloganistik, tetapi diterjemahkan melalui program kerja yang nyata dan terukur sehingga pelanggaran dalam pemilu bisa diantisipasi seminimal mungkin. Tanpa partisipasi banyak pihak, itu tidak mungkin. Sejatinya nyawa pengawasan terutama untuk pencegahan adalah banyaknya kerja sama dan partisipasi.


Sekali lagi, kehadiran di TPS tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hasil sebuah kontestasi demokrasi. ‘Pergi ke TPS’ saja tidak cukup. Publik mesti bertindak sebagai ‘pembidik kader dan  pengawas yang militan dan konsisten terhadap setiap aksi dan manuver yang diperlihatkan oleh para kontestan dan para penyelenggara Pemilu.


Jadi, ukuran mutu sebuah kompetisi politik, tidak hanya angka-angka partisipasi ke TPS, tetapi juga ‘intensitas dan keseriusan’ untuk ‘memastikan kader yang bertarung benar-benar berkualitas dan mengawasi para pemain politik dan para penyelenggara. Tentu ini menjadi perhatian serius. Tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga masyarakat pemilih.


Sebetulnya, tingkat partisipasi masyarakat Mabar dalam pemilu sudah baik. Pada Pemilu 2024, tingkat partisipasi sudah mencapai 80%, sudah melampaui target nasional. Mungkin tingkat partisipasi Pilkada yang perlu dibenahi lagi. Tingkat partisipasi ke TPS yang tinggi itu akan semakin efektif dan berbobot jika diimbangi dengan meningkatnya kesadaran untuk bertindak sebagai penjaring calon dan pengawas.


Epilog


Pemimpin politik dipilih untuk mengurus atau mengabdi pada kepentingan publik. Oleh sebab itu, publik ‘berhak dan wajib’ terlibat dalam setiap tahapan pelaksanaan kompetisi politik dalam menjaring dan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan ekspektasi publik.


Pemimpin yang berkualitas itu, hemat saya lahir dari sebuah proses yang juga berkualitas. Indikator sederhana untuk menentukan proses politik yang demokratis adalah tingginya angka partisipasi publik dalam sebuah kontestasi politik. Partisipasi yang dimaksud, tidak melulu soal ‘kehadiran di tempat pemungutan suara’ (TPS), tetapi juga melaksanakan tanggung jawab sebagai ‘pengawas yang cermat dan cerdas’ terhadap setiap tindakan dari para aktor politik dan para penyelenggara pemilu.


Publik pemilih (konstituen), sebenarnya adalah perekruit kader dan ‘pengawas pemilu sungguhan’. Tugas sebagai pembidik dan pengawas itu, tidak diperoleh melalui mekanisme yang legal-formal, tetapi semata-mata sebagai ‘akibat logis’ dari penggunaan kekuasaan politik untuk peningkatan kualitas kehidupan bersama. Publik tidak boleh menjadi ‘korban’ dari permainan politik yang cenderung kotor dari para kontestan politik.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pemilu 2024; Minus Partisipasi Publik atau Kualitas Demokrasi?

Trending Now

Iklan