Oleh: Sil Joni*
![]() |
SMK Stella Maris dan 'Peradaban Kasih' (Sil Joni) |
Semua yang kita cari, usahakan, dan dambakan, akan sia-sia jika kita tidak 'memiliki kasih'. Apa guna ilmu dan kekayaan material yang kita incar, jika 'kasih' tak mengalir dalam tubuh dan kehidupan setiap hari. Karena itu, di mana saja kita berada dan bekerja, termasuk di sekolah, maka 'kasih' selalu nomor satu.
Baca: Satu Asa Aneka Gaya (Analisis Semiotika Fotografi Lorens Ndare dalam Konteks Visi SMK Stella Maris)
Saat 'bermeditasi' lewat tulisan, saya merasa bahwa SMK Stella Maris menjadi 'sumur inspirasi' yang tak pernah kering dan habis ditimba. Selalu saja muncul 'kisah kecil' yang mendorong dan merangsang saya untuk meramunya dalam sebuah refleksi sederhana.
Sebuah 'suara' masuk ke dalam hati dan pikiran saya untuk 'menulis tentang kisah kasih di sekolah ini, ketika mengalami momen 'perjumpaan' dan interaksi dengan segenap warga sekolah. Sebagaian cerita itu diawetkan melalui lensa kamera. Saya berusaha untuk 'mengekalkannya' dalam bentuk tulisan. Ada perasaan tidak 'tega' dalam diri ini untuk 'memdiamkan' pernak-pernik cerita itu.
Namun, saya tidak sedang menggarap sebuah 'cerita cinta' spesifik dengan seluruh detilnya. Apa yang disajikan di sini, sebetulnya hanya 'cetusan permenungan' ketika 'mengalami' pelbagai kisah kasih di lembaga ini.
Baca: Selamat Tinggal 'Kekerasan' (Catatan Seputar Konsep 'Sekolah Ramah Anak)
Iman, harap dan kasih. Itulah tiga kebajikan teologis dalam agama Katolik. Namun, dari ketiganya 'kasih' mendapat kedudukan istimewa. Teks biblis berikut bisa dijadikan rujukan untuk mengamini status istimewa dari kasih itu. "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. (Deus caritas est)" (1Yohanes 4:8)
Tentang kasih, Virgil Eclogues, dalam Kitab X, baris 69, menulis: "Omnia vincit amor, et nos cedamus amori" ("Kasih mengalahkan segalanya, marilah kita pun takluk kepada kasih"). Rasanya, tidak perlu diperdebatkan soal kedudukan dan peran 'kasih' dalam kehidupan manusia. Jika Allah adalah kasih, maka manusia sebagai 'imago Dei', merupakan pantulan dan pengendapan paling purna dari kasih itu sendiri. Erich Fromm, psikolog humanis dari Amerika Serikat benar ketika berujar: "Manusia tidak bisa hidup, meski sedetik pun, tanpa kasih".
Thomas Aquinas, salah satu teolog dan filsuf besar dalam agama Katolik' memahami kasih (caritas) sebagai "persahabatan manusia demi Allah" yang "mempersatukan kita dengan Allah". Maksudnya, kasih itu diekspresikan secara konkret dalam 'persahabatan' antara sesama. Beliau meyakini bahwa kasih yang hadir dalam persahabtan akan membawa manusia pada 'persekutuan' (union). Penyatuan itu dilihat sebagai 'simbol' penyatuan antara manusia dengan Tuhan.
Karena itu, Thomas membagi cinta ke dalam dua jenis, yaitu cinta hawa nafsu (love of concupiscence) dan cinta persahabatan (love of friendship). Tanpa mengabaikan sisi positif dari cinta hawa nafsu, rupanya cinta untuk 'menyatu' dengan orag lain dan terarah untuk 'memenuhi' kebutuhan orang lain dalam sebuah 'persahabatan' mendapat porsi perhatian yang lebih. Sahabat sejati adalah dia yang 'mengorbankan' dirinya untuk kebaikan 'orang lain'.
Kasih itu, mesti dihidupi (dihayati) dalam ruang dan waktu yang spesifik. Sudah seharusnya 'mantel kasih' selalu dikenakan di mana saja kita berada. Di mana ada kasih, Tuhan hadir di sana.
Entah disadari atau tidak, komunitas SMK Stella Maris telah, sedang, dan akan terus 'menjelmakan kasih' itu dalam kintal sekolah. Kasih itu, diungkapkapkan lewat 'tindakan sederhana' seperti sapaan, bersalaman, bersentuhan, bercanda di beranda sekolah, berkolaborasi dalam menjalankan tugas profesional, bincang-bincang, senyum, tertawa bersama, makan dan minum bersama, foto bersama, bekerja bersama, saling melayani, dan aneka tindakan positif lainnya.
Itu berarti, hampir setiap hari, kita 'memintal benang kasih' di lembaga ini. Tiap-tiap pribadi, dengan caranya sendiri, berkontribusi dalam merenda 'kasih' di sekolah. Bisa dibayangkan jika apa yang kita 'tabur' di sekolah, tanpa dilandasi dengan spiritualitas kasih, bisa jadi kita 'terperangkap' dalam kejenuhan dan bahkan kesepian yang akut.
Saya kira, perasaan ada bersama dan disentuh oleh 'api kasih' itulah yang membuat kita tetap eksis dan betah (at home) di sini. SMK Stella Maris menjadi 'rumah (home) yang digenangi dengan embun kasih setiap hari. Kehagantan kasih, tentu saja mampu melecut gairah dan semangat dalam 'mengalirkan kebaikan' baik untuk para peserta didik, maupun untuk sesama rekan pengajar.
Singkatnya, kita berjuang agar SMK Stella Maris menjadi sebuah 'komunitas kasih' yang kalau dapat, kasih itu membias dan memancar ke segenap hati dari setiap orang yang kita jumpai dalam hidup ini. Saya sangat optimis bahwa ketika 'peradaban kasih' terjelma dalam dada kita, maka pelbagai idealisme dari lembaga ini, bakal termanifestasi dengan baik.
Sampai di sini, saya teringat satu penggalan syair lagu 'Kisah Kasih di Sekolah' dari Almarhum Chrisye. ".....Tiada masa paling indah/masa masih di sekolah/Tiada kisah paling indah/kisah kasih di sekolah/.....". Kendati lagu ini, sebetulnya bersifat nostagia, sebuah kenangan ketika 'berada' di sekolah, tetapi saya kira baik juga jika 'ungkapan' dalam syair lagu itu kita renungkan persis ketika sedang 'bertugas sebagai staf pengajar' di sekolah.
Baca: Alasan RP Tuan Kopong MSF Menghadiri Misa Bersama Paus Fransiskus
Bahwasannya, sekolah, entah dilihat sebagai tempat 'menimba ilmu', maupun sebagai 'ruang membagi ilmu (baca: mendidik dan mengajar), selalu 'menghasilkan dan menyimpan 'kisah kasih' yang sangat indah dan impresif.
Ketika 'praksis kasih' sudah mengakar di sekolah, maka rasanya 'idealisme pemanusiaan manusia dan upaya penyadaran (konsientisasi), semakin mudan terlaksana. Segenap anggota komunitas mesti menerapkan 'peradaban kasih' agar apa yang menjadi cita-cita bersama, tak menemui kendala yang berarti.
*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris