Oleh: Sil Joni*
![]() |
Urgensi Merayakan Cinta, Merawat Kemanusiaan (Dari Stella Maris Teruntuk Dunia) (Sil Joni) |
Dalam rangka memaknai Hari Kasih Sayang (Valentine's Day), 14 Februari 2025, komunitas SMK Stella Maris akan menggelar Festival Seni dan Literasi. Festival ini dibuat sebagai bentuk 'perayaan cinta' di lembaga itu. Kita coba mengemas 'pesta cinta', melalui 'unjuk karya' baik dalam bidang seni maupun literasi.
Baca: “Festival Seni dan Literasi” untuk Publikasi Mading
Dengan itu, SMK Stella Maris ingin menepis anggapan bahwa Valentine's Day itu identik dengan seremoni yang bersifat hedonistik dan konsumtif. Kali ini, Stella Maris 'coba' menggunakan 'metode lain' yang terlihat lebih menampilkan kekhasan lembaga ini sebagai 'komunitas akademik'.
Melalui hajatan itu juga, Stella Maris mau merespons kritik dari sebagaian kalangan bahwa ‘Valentine's Day itu bukan budaya kita. Ternyata, jika 'dikemas secara kreatif', pesta Valentine's Daya itu, tidak hanya 'sesuai dengan budaya kita', tetapi justru bisa menginpirasi kita untuk memproduksi pelbagai inovasi dan kreativitas.
Selain itu, ika kita masuk ke substansi dari ‘perayaan kasih sayang’ itu, rasanya perayaan semacam itu, mengandung nilai yang bersifat universal. Merayakan cinta merupakan ‘ekspresi’ dasariah yang bisa dibuat oleh semua manusia di muka bumi ini. Jika opini ini kita terima, maka sebetulnya ‘merayakan cinta’ itu, bisa menjadi ekspresi budaya kita juga.
Apa itu cinta? Kita mesti ‘memahami’ hakikat cinta sehingga kita mendapat alasan yang cukup untuk merayakannya setiap hari.C-i-n-t-a itu bukan sekadar onggokan aksara kaku nirmakna. Cinta tidak boleh dikandangkan dalam jeruji erotika dan sexus (birahi) semata. Cinta juga tidak hanya sekedar ‘fakultas mental’ berupa emosi yang merajai kepribadian seorang anak manusia.
Baca: Di Balik Asah Literasi, Siswi SMKN 1 Satarmese, Sabet Juara Utama Lomba Cerpen Tingkat Nasional
Mari kita menukik lebih dalam lagi. Sebenarnya cinta adalah kasih. Kasih adalah representasi ‘kehadiran’ dari Dia Yang Tak Kelihatan. Karena itu, cinta merupakan penjelmaan total dari Dia Yang Merancang Semuanya. Tegasnya, cinta (meminjam bahasa teologi) adalah Tuhan. Di mana ada cinta, Tuhan hadir di sana. Atas dasar itu, kita patut bergembira sebab kita boleh menikmati ‘hembusan cinta’ sehingga kita bisa bertahan hidup dan meneruskan spesies kemanusiaan sedari awal hingga kekal.
Dari alur pemikiran di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa tindakan merayakan cinta merupakan ‘panggilan hakiki’ dan menjadi bagian inheren dari keberadaan semua makhluk hidup, termasuk manusia. Karena itu, kita seharusnya merayakan ‘cinta’ setiap hari, bukan hanya pada hari khusus, seperti momen Valentine Day, hari ini (14 Februari).
Untuk itu, pertama-tama, kita mengucapkan “happy Valentine Day” kepada segenap insan pencinta (homo amans) di seantero jagat. Untung ada cinta. Hanya dan melalui cinta manusia bisa survive. Manusia menurut Erich Fromm tidak bisa hidup meski sedetik pun tanpa cinta. Karena itu, sangat pantas jika cinta tak hanya diamalkan, tetapi juga dirayakan dengan antusias.
Cinta dalam level theoria didaulat sebagai “raja kosmos”. Namun, dalam praksis, cinta bersaing ketat dengan benci. Mengapa? Para psikoanalis menemukan bahwa dalam diri manusia, selain unsur cinta (eros), terdapat juga “sisi lain” yang agak destruktif (thanatos).
Kedua unsur ini (eros dan thanatos) beroperasi dalam rupa-rupa matra kehidupan manusia. Tentu, panggung politik tak luput dari “peragaan” dua elemen konfrontatif ini. Lanskap perpolitikan kita dalam beberapa tahun terakhir cendrung terlihat buram. Aspek destruktif dan negativitas (penyingkiran yang lain) begitu dominan. Brutalisme dan sadisme politik amat gamblang dipotret.
Podium poltik kita masih jauh dari spirit kasih sayang. Sepertinya, poltik kasih sayang (the politic of love) tak efektif dalam menggapai ambisi pribadi. Para elit lebih tertarik menggunakan “poltik kebencian (anti lawan politik) untuk mewujudkan mimpi meraih kuasa.
Padahal, kita tahu cinta mempunyai daya mengubah (the powerful of love). Watak transformatif dari cinta hanya mungkin teraktualisir jika “setting dan sistem” politik tidak terkontaminasi dengan “arus radikalisme dan sentimen primordial” yang picik. Sayang sekali, politik cinta bakal sulit berkompetisi di negeri ini tersebab oleh “mengakarnya” politik negativitas dan agresivitas.
Oleh karena itu, perayaan akan “Hari Kasih Sayang”, 14 Pebruari ini, menjadi momentum ideal untuk mendorong penerapan politik kasih sayang dalam menata kehidupan bersama yang lebih baik. Impian untuk meraih kuasa tak harus menggunakan cara-cara arkais dan animalis. Ia bisa diraih dengan mengenakan mantel politik kasih secara reguler setiap hari.
Bukankah politik itu adalah ‘sarana’ memperjuangkan kepentingan bersama yang lebih baik dan bermutu? Jika kita konsisten mengamalkan definisi politik, maka sebenarnya nuansa kasih sayang itu bersifat inheren, tak terpisahkan dari politik. Praksis politik merupakan manifestasi dari ‘rasa cinta’ terhadap sesama.
*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris.