Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Pastoral Lejong Orang Manggarai Sebagai Media Toleransi

Suara Bernas
Saturday, April 19, 2025 | 05:50 WIB Last Updated 2025-04-20T05:20:46Z

Oleh: Marselinus Alsadin


Pastoral Lejong Orang Manggarai Sebagai Media Toleransi
Pastoral Lejong Orang Manggarai Sebagai Media Toleransi (foto penulis)



Pastoral lejong merupakan sebuah media pastoral yang sering dilakukan oleh orang Manggarai. Lejong menjadi sebuah cetusan atau sebuah wadah perjumpaan. Perjumpaan mencerminkan sebuah terima akan perbedaan baik itu pendapat, warna kulit, status, golongan dan lainnya. Konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan salah satu tipe konflik yang tidak mudah untuk diuraikan, terlebih lagi konflik agama. 


Baca: Keluarga Sebagai Rumah Bersama


Namun, bukan berarti konflik tersebut tidak bisa dikelola dengan baik. Penulis memberi penilaian agama secara seimbang. Menurutnya, agama dapat menjadi sumber konflik, di saat yang sama juga memiliki potensi kreatif yang dapat berfungsi sebagai jaminan yang kuat untuk menciptakan toleransi, pluralisme, demokratis, dan menjadi sebuah resolusi konflik tanpa kekerasan. Hal ini dapat terwujud, apabila adanya kesediaan dari pemeluk agama untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya secara mendalam, dewasa, toleran, dan pluralis. Budaya Lejong dari masyarakat Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki kekayaan tradisi yang penuh dengan nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan keharmonisan. Tradisi ini mencerminkan semangat hidup bersama yang selaras dengan keragaman etnis, agama, dan budaya. Namun, tantangan modernitas, seperti konflik sosial berbasis agama atau budaya, dapat mengancam nilai-nilai toleransi ini, dalam gagasan compassion (welas asih) dan teologi hidup bersama, menekankan pentingnya memadukan nilai-nilai tradisi lokal dengan dialog lintas agama dan budaya untuk menciptakan harmoni. 


Perlibatan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) sangat diperlukan sebagai sarana pendukung dalam usaha menciptakan solidaritas sosial, mengawetkan, serta mengalihgenerasikan budaya sehingga dapat meminimalisasi konflik sosial. Salah satu kebudayaan yang diangkat dalam penelitian ini adalah budaya Lejong. Lejong menurut seorang pastor FloriL OFM (almarhum) mendeskripsikan lejong adalah perjumpaan yang penuh dengan makna. Lejong dapat diartikan sebagai hakikat hidup berkaitan dengan kehidupan manusia dengan dirinya demi kesejahteraan hidup dan hubungannya dengan alam dan Sang Pencipta. 


Baca: Kagum Akan Penulis


Budaya Lejong Manggarai dilihat sebagai pintu masuk toleransi, sebuah tempat perjumpaan pemeluk agama-agama yang ada di Manggarai. Toleransi akhir-akhir ini sedang merongrong bangsa kita. Salah satu keprihatinan bersama di Indonesia adalah melemahnya toleransi di antara para pemeluk agama. Keprihatian sosial ini menjadi keprihatinan penulis sendiri. Alasan inilah yang menjadi motif mengapa saya memilih tema tentang budaya Lejong sebagai pintu masuk toleransi. 


Penulis hidup di tengah ancaman intoleransi bagi keutuhan Negara Kesatatuan Republik Indonesia (NKRI) hendaknya tidak boleh dilihat sebagai masalah yang sederhana atau biasa-biasa saja. Intoleransi menjadi antitesis dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang terpampang secara jelas di kaki Burung Garuda. Para pendiri bangsa, dalam kesadaran yang penuh serta semangat inklusivitas yang tinggi mengakui dan menerima keanekaragaman yang ada di bumi pertiwi. Diversitas (keberagaman) yang ada dipandang bukan sebagai sumber masalah atau ancaman disintegritas bangsa melainkan sebagai sumber persatuan dan kesatuan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Pengakuan itu tidak hanya termaktub dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika tetapi juga terpartri dalam sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. 


Penelitian ini membahas tentang tingkat toleransi antarumat beragama di Manggarai, Flores, NTT. Locus ini diambil karena di sana terdapat karakter sosial, agama, suku dan budaya yang menjadi tempat perjumpaan setiap agama di Manggarai. Salah satu sarana yang bisa merekat dan menjadi media dialog antara agama di sana adalah “budaya Lejong”. Manggarai merupakan sebuah wilayah yang luas yang bisa mengumpulkan dan menyatukan perbedaan tersebut. Karakter dasar orang Manggarai sangat dipengaruhi oleh tata adat yang sangat ketat. Setiap masyarakat harus saling menerima dan harus menunjukkan perilaku penghormatan kepada ketiga aspek: menghormati Wujud Tertinggi, mengasihi sesama dan menghargai alam ciptaan. Perbedaan suku dan agama tidaklah menjadi halangan bagi masyarakat Manggarai untuk menghormati orang lain. Bahkan perbedaan itu dilihat sebagai kondisi untuk bersatu sebagai sesama bersaudara. Soekarno mengalami bahwa apa yang telah dipercayai dan dilakukan oleh masyarakat Manggarai adalah yang seharusnya menjadi sikap dan perilaku Bangsa Indonesia. Ketiga tungku yang menjadi jiwa budaya Lejong, yaitu relasi akrab manusia dengan Wujud Tertingginya, relasi antarsesama manusia, dan relasi dengan alam sejagat adalah kekuatan sebuah bangsa. 


Manggarai, agama mayoritas adalah agama Katolik, disusul Islam, lalu agama-agama lainnya yang memiliki penganut yang terbilang kecil. Seperti sudah dibagikan (kendatipun tidak seharusnya demikian), Manggarai meliputi daerah pegunungan dan pantai. Umumnya, orang yang tinggal di pegunungan memeluk agama Katolik, sedangkan orang yang bermukim di daerah pantai memeluk agama Islam. Budaya Lejong menjadi pintu toleransi bagi kedua pemeluk agama tersebut. Di sana, mereka berinteraksi dan berdialog. Dalam sharing dengan seorang Ustad di Waso Dampek, seorang tokoh muslim dari. Dia mengatakan toleransi sangat kuat. Kalau ada perayaan besar umat Katolik (Natal atau Paskah) yang membantu adalah umat muslim. Dan umat muslim juga membantu membangun Gereja dan menggalakan aksi keamanan. Begitu pula sebaliknya saat umat Islam merayakan hari raya keagamaan mereka.


Baca: Sil Joni sebagai Penulis dan Pemandu Acara


Contoh kalau umat muslim merayakan lebaran, banyak umat Katolik yang datang bersalaman. Hal ini bisa mengurangi konflik dan kekerasan antaragama. Konflik yang terjadi pada komunitas keagamaan selama ini karena adanya kesalahpahaman atau kurangnya kesadaran beragama sehingga menyebabkan banyak terjadi konflik antarumat beragama. Sebagai contoh dari beberapa, kasus yang terjadi di Yogyakarta di mana terjadi ketegangan Warga Islam Pragolan dengan pendatang Kristen, di mana suasana pedesaan yang sebelumnya relatif kuat dengan kehadiran para pendatang Kristen secara bertahap mengalami perubahan layaknya suasana masyarakat perkotaan yang cenderung  individualistik dan lebih banyak disibukkan oleh orientasi ekonomis daripada kehidupan sosial bermasyarakat. Masih banyak contoh lain di mana konflik itu lahir dari sebuah kecenderungan individualistik. Suasana persaudaraan lahir dari perjumpaan wajah. Perjumpaan memuat sebuah aktus cinta. Lejong menjadi sebuah living culture dalam Masyarakat Manggarai. Lejong bukan sekadang bertamu atau berjumpa, tetapi lebih dari itu adalah symbol penerimaan wajah

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pastoral Lejong Orang Manggarai Sebagai Media Toleransi

Trending Now

Iklan